Transformasi Badan Karantina Indonesia dinilai menjadi kunci untuk memangkas hambatan ekspor-impor Indonesia. Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Wiku Adisasmito, mengatakan tranformasi itu dapat dilakukan dengan penyederhanaan koordinasi dan modernisasi teknologi Barantin.
Wiku mencontohkan, selama pandemi COVID-19, pemerintah harus bisa belajar bahwa koordinasi lintas sektor merupakan faktor terpenting untuk menjaga stabilitas ekonomi. Hal itu juga berlaku pada sistem karantina yang selama ini tersebar pada beberapa unit berbeda.
"Seandainya karantina 1, 2, 3, 4 jadi satu koordinasinya, Indonesia kuat. Karena selama COVID kami mengalami sendiri: kelancaran ekonomi harus dijaga, tapi keamanan kesehatan tetap. PR beratnya di situ," kata Wiku dalam Talkshow Badan Karantina Indonesia bertajuk "Sinergi Menjaga Sumber Daya Hayati, Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi", di Habitate Jakarta, Kamis (20/11/2025). Sebagai informasi, acara ini didukung oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA) dan PT Suri Tani Pemuka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Wiku, transformasi badan karantina harus fokus pada kecepatan layanan, pemanfaatan teknologi digital, dan ketelusuran komoditas. Sebab, perdagangan global kini bergerak jauh lebih cepat dari kemampuan sistem konvensional.
"Dalam masa digital seperti sekarang, kita sudah nggak bisa lagi hanya memakai indera. Screening harus menggunakan teknologi. Itu yang membuat lalu lintas barang bisa aman, tapi tetap lancar," ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa teknologi biosekuriti modern kini memungkinkan deteksi virus jauh lebih cepat, bahkan sebelum barang masuk ke negara tujuan. Hal ini penting untuk menjaga reputasi dagang Indonesia sekaligus menekan risiko penolakan ekspor.
"Kalau sistem screening seperti itu kita lakukan, otomatis ekonominya lancar. Ukurannya waktu tunggunya sangat pendek, nilai ekonominya tinggi, logistika lancar, dan nggak ada outbreak," jelasnya.
Wiku menambahkan, transformasi Barantin juga harus sejalan dengan standar internasional, termasuk pemanfaatan database global seperti Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) untuk ketelusuran genetik komoditas berisiko tinggi.
Dia menegaskan, tanpa transformasi menyeluruh, Indonesia akan terus menghadapi hambatan ekspor-impor akibat lambatnya screening, lemahnya koordinasi, serta kurangnya pemanfaatan teknologi.
Transformasi badan karantina menurutnya dapat digadang-gadang menjadi fondasi baru untuk mempercepat ekspor, memperkuat biosekuriti nasional, serta menjaga kelancaran supply chain Indonesia di pasar global.
"Harmonisasi dan diplomasi antarnegara penting. Jangan sampai Indonesia dipojokkan karena screening kita tidak modern. Transformasi ini penting agar arus barang aman, tapi juga cepat," tutup Wiku.
(ada/ara)










































