Bos Pajak Respons Fatwa MUI soal Bumi & Hunian Tak Layak Kena Pajak

Bos Pajak Respons Fatwa MUI soal Bumi & Hunian Tak Layak Kena Pajak

Ilyas Fadilah - detikFinance
Senin, 24 Nov 2025 15:30 WIB
Dirjen Pajak di DPR
Dirjen Pajak di DPR - Foto: detikcom/Ilyas Fadilah
Jakarta -

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Bimo Wijayanto buka suara soal fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut pemungutan pajak pada bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dilakukan. Menanggapi ini, Bimo menyebut pajak bumi dan bangunan (PBB) sebenarnya sudah diserahkan ke pemerintah daerah.

"Ya PBB kan sebenarnya undang-undangnya sudah diserahkan ke daerah. Jadi kebijakan, tarif, kenaikan dasar, pengenaan, semuanya di daerah," ujarnya saat ditemui di Kompleks DPR RI Senayan, Jakarta (24/11/2025).

Meski begitu, Bimo menyebut DJP bakal melakukan diskusi lebih lanjut dengan MUI. Pasalnya, Bimo menilai hal yang disinggung MUI lebih kepada PBB-P2 atau pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita juga sudah diskusi dengan MUI sebelumnya, jadi nanti coba kita tabayun dengan MUI Karena sebenarnya yang ditanyakan itu PBB-P2 perdesaan perkotaan, pemukiman, itu di daerah. Di kami hanya PBB yang terkait dengan kelautan, perikanan, dan pertambangan sama kehutanan," bebernya.

ADVERTISEMENT

Sebelumnya, Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan fatwa tentang Pajak Berkeadilan menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang.

Ketua MUI Bidang Fatwa ini menambahkan fatwa Pajak Berkeadilan ditetapkan sebagai tanggapan hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan PBB yang dinilai tidak adil.

"Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi," kata ulama yang akrab disapa Prof Ni'am, dilansir dari situs MUI.

Lebih lanjut, Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menegaskan bahwa objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).

"Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak," tegas Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini.

(kil/kil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads