Di tengah kesibukan kantor pagi itu, mba Cia, bukan nama sebenarnya, menghela nafas panjang. Ia baru saja bekerja di bidang akunting. Setiap hari angka-angka penjualan dan pembelian disetor kepadanya melalui berbagai faktur dan dokumen.
Pekerjaan yang tidak ringan mengkalkulasi semua capaian anggaran setiap divisi di departemennya. Namun, yang menggelisahkannya bukan itu. Hari itu, salah satu media nasional menyoroti potensi Artificial Inteligence (AI) menggantikan secara sempurna banyak pekerjaan termasuk akunting tidak terlalu lama dari sekarang.
Kemampuan AI yang luar biasa akhir-akhir ini mencelikkan banyak mata bagaimana AI dapat sedemikian 'pintar' untuk melakukan berbagai perhitungan dan pemikiran logis secara sangat cepat dan akurat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu artinya pekerjaan akuntansi sampai aplikasi hukum dapat digantikan AI. Banyak pekerjaan teknis yang bersifat berulang, membutuhkan ketelitian tinggi dan logika baku dapat dilakukan oleh AI.
Penggunaan AI di Indonesia menempati urutan ketiga dengan 1,4 miliar akses berada di bawah Amerika Serikat dengan 5,5 miliar akses dan India dengan 2,4 miliar akses (Indonesia Digital Economy Outlook, 2025). Baru-baru ini, Menko Perekonomian memperkirakan kontribusi AI terhadap ekonomi Indonesia berpeluang mencapai lebih dari US$ 360 miliar bahkan hingga US$ 600 miliar.
Dengan kekuatan ekonomi saat ini berkisar US$ 1,4 triliun, potensi kontribusi AI yang lebih dari seperempat total ekonomi, membuat peluang penerapan AI dalam perkembangan industri dan bisnis di Indonesia sangat besar.
Sejarah mencatat setiap kemajuan teknologi membawa perubahan besar dalam serapan tenaga kerja. Ketika mesin uap ditemukan pada abad ke-18, kekuatiran yang sama juga terjadi. Kekhawatiran muncul berkenaan dengan banyaknya pekerjaan yang akan digantikan oleh mesin uap sehingga pengangguran bertambah dan berdampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat.
Kenyataannya sangat jauh berbeda. Memang banyak pekerjaan yang tadinya dilakukan oleh manusia kemudian digantikan oleh mesin. Tapi, lebih banyak lagi pekerjaan baru yang dilahirkan. Manusia dengan cepat beradaptasi.
Kemunculan mesin membuat pekerjaan dilakukan secara presisi, cepat, skala besar dan efisien. Hasilnya, harga produk semakin terjangkau dengan kualitas lebih baik. Lebih banyak produk yang semula hanya dinikmati kalangan berada, dapat dinikmati masyarakat luas.
Walaupun marjin keuntungan menipis, tapi skala penjualannya sangat besar. Pendapatan menjadi sangat besar. Bermunculanlah perusahaan-perusahaan besar multinasional. Efek jaringan yang dihasilkan mampu menekan biaya produksi menjadi sangat efisien.
Pekerjaan-pekerjaan baru bermunculan dari memastikan kualitas produksi, melancarkan distribusi produk, menjaga kepuasan konsumen, riset pasar, dan inovasi teknologi. Itu artinya kesejahteraan masyarakat justru meningkat.
Setiap kemajuan teknologi akan membongkar cara-cara lama dalam berproduksi dan menciptakan cara-cara baru yang lebih efisien. Era elektrifikasi telah membuat rumah tangga lebih mudah dalam menyimpan makanan (refrigerator), lebih nyaman dengan suhu ruangan (Air Conditioner) dan berbagai kemudahan lainnya. Demikian juga dengan kemajuan digital teknologi yang mempermudah begitu banyak proses bisnis.
Dengan kemampuan belajar sendiri (machine learning), AI mampu melakukan pekerjaan dengan kecerdasan, kecepatan dan ketelitian yang sangat mengagumkan. Output yang dihasilkan telah mempertimbangkan berbagai masukan berbeda.
Perancangan dan penerapan AI membutuhkan keahlian di berbagai bidang, tak terbatas pemrogramannya saja. Output yang dihasilkan sangat dipengaruhi logika berpikir yang dipelajari. Sebagai gambaran, AI dalam tatanan kapitalis cenderung menyusun solusi berdasarkan free market competition dan individual capital accumulation. Sebaliknya, dalam tatanan sosialis cenderung memperhatikan distribusi pendapatan masyarakat, redistribusi pajak dan pembatasan kekayaan individu.
Itu artinya lingkungan dan masukan yang berbeda dalam perancangan AI akan berujung pada ragam solusi berbeda yang ditawarkan. Karena itu, pada setiap output dari AI, perlu keahlian tersendiri untuk mentranslasikannya agar bermanfaat dengan mempertimbangkan sisi moral, sosial dan budaya.
Teknologi AI akan semakin dibutuhkan di berbagai aktivitas ekonomi. Dunia keuangan, telah memanfaatkannya untuk mendeteksi terjadinya 'fraud' pencucian uang. Dalam bidang pertahanan dan keamanan, AI diterapkan untuk mendeteksi kejanggalan aliran informasi dan mengidentifikasi hal-hal mencurigakan.
Dalam bidang ekonomi, AI digunakan untuk menyeleksi, menyaring dan mengolah data menjadi informasi berharga bagi penentuan lokasi usaha, pengembangan dan pemasaran produk, perbaikan usaha dan mitigasi risiko kegagalan bisnis.
Sementara itu, kemampuan tenaga kerja kita untuk menyerap AI masih sangat terbatas. Data BPS (2024) menunjukkan lebih dari setengah angkatan kerja hanya berpendidikan sampai dengan tingkat menengah pertama, sepertiganya hingga menengah atas dan kurang dari 14% berpendidikan hingga akademi/universitas.
Artinya, perlu ada kebijakan progresif mengejar ketertinggalan itu seperti pembelajaran sejak dini, retraining pekerja dan sinergi dan kolaborasi dengan pihak-pihak berkompeten.
Perkembangan AI memang akan mengurangi keterlibatan manusia dalam sejumlah pekerjaan, namun sejarah membuktikan pada setiap lompatan teknologi akan terbuka peluang bekerja yang lebih luas. Peluang-peluang itu akan mengerucut pada pekerjaan yang mengandalkan kemampuan berpikir dan kebijakan Ilahi yang luar biasa yang dimiliki pikiran manusia.
Gunawan Wicaksono
Ekonom Ahli Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah
(ang/ang)











































