Permata Bank melalui Permata Institute for Economic Research (PIER) memerkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun 2025 ini berada di kisaran 5,0-5,1%. Angka ini diperkirakan akan kembali meningkat pada 2026 hingga ke kisaran 5,1-5,2%.
"Meskipun memang tentunya kita perlu melihat lagi, stance kami adalah bagaimana memandang 2026 adalah optimis namun tetap dengan kehati-hatian," kata Chief Economist Permata Bank Josua Pardede dalam Media Briefing PIER Economic Outlook 2026, Kamis (4/12/2025).
"Jadi optimisnya adalah kita masih memiliki potensi domestik yang masih bisa kita tingkatkan, optimalkan. Namun kehati-hatian yang kita perlukan tentunya dengan menavigasi risiko global yang masih tetap ada," sambungnya.
Josua menjelaskan di tingkat global harga energi cenderung turun sepanjang 2025, sementara komoditas pertanian meningkat seiring permintaan yang tetap solid. Pada 2026, pertumbuhan ekonomi global diramal akan melemah akibat perlambatan ekonomi China dan meningkatnya ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat (AS).
"Berkaitan lagi dengan bagaimana full impact dari reciprocal tariffs, tentunya kami mengidentifikasi beberapa sektor industri cukup terdampak terutama beberapa industri manufaktur, tekstil, garmen, alas kaki, lalu juga kita bicara tentang produk elektronik, Ini akan cukup terpengaruh dengan adanya kebijakan reciprocal tariffs tersebut," papar Josua.
"Belum lagi kita melihat ada risiko ketidakpastian geopolitik. Kita bicara di tahun ini mungkin berkaitan dengan Timur Tengah, tapi kita masih belum tahu bagaimana ketidakpastian yang mungkin bisa muncul berkaitan dengan politik antara China dan Jepang. ketidakpastian itu masih akan bisa muncul, akan saja dan tentunya akan sangat mempengaruhi kondisi globalnya," terangnya lagi.
Lebih lanjut, pihaknya juga memperkirakan Kan terjadinya pemangkasan lanjutan suku bunga acuan The Fed sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75% pada Desember 2025, disusul penurunan tambahan sebesar 25 bps menjadi 3,50% pada 2026.
"Tren suku bunga global ini akan juga dicermati, akan masuk dalam asesmen dari Bank Indonesia untuk mempertimbangkan bahwa ruang penurunan suku bunga juga masih tetap ada untuk domestik," ucapnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan pada sektor pasar keuangan domestik diproyeksikan memasuki fase yang lebih positif di 2026. Hal ini ditopang pelemahan bertahap pada indeks Dolar AS dan imbal hasil US Treasury seiring potensi pelonggaran moneter lanjutan oleh The Fed.
"Imbal hasil SBN juga diperkirakan turun moderat pada 2026, sebagai dampak atas proyeksi penurunan suku bunga kebijakan oleh The Fed dan Bl," paparnya.
Selain itu, rupiah diproyeksikan menguat secara bertahap pada 2026, di mana pada akhir tahun itu mata uang Indonesia diramal bisa berada di kisaran Rp 16.200-16.400 per dolar AS. Menurutnya hal ini didorong oleh prospek aliran modal investasi maupun portofolio aliran modal asing sepanjang tahun depan.
"Inflasi diperkirakan naik secara moderat sebagai respons atas kebijakan pro-pertumbuhan, namun tetap terkendali di bawah 3%, memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk tetap akomodatif. Perkiraan kami inflasi akan naik ke kisaran 2,0-2,5% pada akhir 2025 dari 1,57% di 2024, dan tetap di level yang sama sepanjang 2026," ungkap Josua.
Simak juga Video Rencana Prabowo di 2026: Tambah 1 Juta IFP untuk Sekolah-sekolah
(igo/fdl)