Pemerintah diprediksi bakal menghadapi lima jebakan ekonomi yang dapat mengganggu target pertumbuhan ekonomi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, pemerintah harus segera mengantisipasinya demi mencegah ekonomi tumbuh lebih rendah.
Jebakan yang dimaksud berkaitan dengan program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), pemotongan dana Transfer ke Daerah (TKD), potensi bencana alam, dramatisasi pemberantasan korupsi, hingga kondisi sejumlah BUMN yang masih sakit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sudah situasinya sulit, ada jebakan Batman, jumlahnya lima yang kalau pemerintah tidak berhasil mengantisipasi, maka pertumbuhan akan jauh lebih rendah daripada angka pertumbuhan forecast," terang Wijayanto dalam Outlook Politik Ekonomi yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara virtual, Senin (8/12/2025).
Pertama, KDMP, Wijayanto menilai ada perubahan konsep yang terus terjadi. Hal ini menggambarkan bahwa program tersebut tidak mempunyai konsep tetap dalam implementasinya.
Dana Rp 3 miliar yang diserahkan ke koperasi juga dipertanyakan, mengingat banyaknya belanja modal yang harus dipenuhi sebagai syarat.
Ditambah lagi masih banyak masyarakat yang menganggap KDMP akan bersaing langsung dengan usaha masyarakat, serta tidak dilibatkannya masyarakat dalam program tersebut.
Kedua, terkait pemangkasan TKD yang jumlahnya terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Wijayanto menyebut 35,6% dana APBN dialokasikan untuk TKD, lalu jumlahnya turun menjadi 23,2% pada tahun 2025 dan turun lagi menjadi 18% pada tahun 2026.
"Tetapi yang jelas dengan pemangkasan TKD ini, Pemda akan kesulitan. Karena dua per tiga provinsi itu PAD-nya (Pendapatan Asli Daerah) tidak memadai. Sangat tergantung transfer dari pusat. Bagaimana dengan pemerintah Kabupaten dan kota? lebih buruk lagi," jelas Wijayanto.
Kondisi ini membuat Pemda harus memutar otak untuk mencari pendapatan, salah satunya dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sayangnya menaikkan PBB bukan solusi terbaik karena banjir protes, serta adanya fatwa MUI soal larangan pungutan PBB berulang.
Ketiga, potensi bencana alam yang disebabkan oleh pemanasan global hingga kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan.
Wijayanto menyoroti anggaran lembaga yang berkaitan dengan penanganan bencana alam justru menurun. Padahal potensi terjadinya bencana alam masih akan terjadi ke depannya.
"Yang keempat adalah dramatisasi pemberantasan korupsi. Jadi saya melihat ada tren dramatisasi pemberantasan korupsi di mana pemberantasan korupsi ini dikemas seperti drama Korea. Sehingga ketika pengumuman press conference itu ada uang yang ditampilkan dan sebagainya," tambah Wijayanto.
Tak hanya itu, nilai korupsi yang diumumkan ke publik berjumlah fantastis. Kasus korupsi tata kelola minyak mentah misalnya yang disebut merugikan negara Rp 968 triliun. Kemudian, kasus korupsi timah yang disebut mencapai nyaris Rp 300 triliun.
"Sebelumnya korupsi terbesar di dunia itu dipegang oleh Malaysia dengan 1MDB itu US$ 4,5 billion. Nah permasalahannya, dengan dramatisasi pemberantasan korupsi, kita sangat rugi. Yang pertama reputasi bangsa, yang kedua publik makin apatis terhadap pemberantasan korupsi. Publik semakin apatis. 'Buat apa saya bayar pajak ketika hanya di korupsi?' Investor, dunia usaha takut berinvestasi," bebernya.
Wijayanto lantas mempertanyakan bagaimana perhitungan kerugian negara itu diperoleh. Misalnya dalam kasus korupsi timah, Wijayanto menilai harus ada standar khusus untuk menghitung kerugian lingkungan.
"Nah ini menarik, karena menghitung kerugian lingkungan, itu harus ada standarnya. Kalau tidak, seluruh tambang, seluruh bisnis SDA di Indonesia, kalau dihitung dengan cara yang sama, jangan-jangan nilai kerusakan yang ditimbulkan, itu lebih besar daripada benefit yang diambil," jelas Wijayanto.
Oleh karena itu ia meminta dramatisasi kasus korupsi harus diakhiri dengan memberikan definisi jelas terhadap korupsi dan ketegasan soal definisi kerugian negara. Selain itu cara menghitung kerugian negara juga harus disepakati.
Kelima, adalah banyaknya BUMN yang sakit. Ia mencontohkan 95% dividen yang disetor hanya berasal dari 8 BUMN. Wijayanto juga menyampaikan kekhawatirannya soal Danantara yang harus mengurusi BUMN-BUMN sakit.
"Kemudian, 95% dividen itu dibayarkan oleh 8 BUMN, dari 1.000 BUMN yang ada. Artinya kan mayoritas sebenarnya tidak sehat," tutupnya.
Lihat juga Video: Tekanan Ekonomi AS Meningkat, Data Sinyalkan Perlambatan











































