Hubungan China Jepang Memanas, Jalur Dagang RI Terancam?

Hubungan China Jepang Memanas, Jalur Dagang RI Terancam?

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Selasa, 09 Des 2025 15:40 WIB
Hubungan China Jepang Memanas, Jalur Dagang RI Terancam?
Foto: AFP/-
Jakarta -

Hubungan antara China dan Jepang membuat kawasan maritim Asia Timur memanas. China memberi respons yang agresif terhadap pernyataan Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi. Apa dampaknya untuk Indonesia?

Dilansir CNN dan Associated Press, yang terbaru, jet tempur China dilaporkan mengunci radar pengendali tembakan mereka ke arah pesawat Jepang di atas perairan internasional di dekat kepulauan Okinawa, Jepang. Insiden itu dikecam oleh Menteri Pertahanan Jepang dan menyebutnya 'berbahaya'.

Upaya Jepang untuk meredakan ketegangan belum direspons positif oleh Beijing. Sebaliknya, eskalasi di Asia Timur menimbulkan kekhawatiran di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang berbatasan langsung dengan jalur maritim strategis tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dekan Fakultas Strategi Pertahanan Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI), Oktaheroe Ramsi, menegaskan kompleksitas keamanan di Asia Pasifik terus meningkat akibat rivalitas dua kekuatan ekonomi besar tersebut.

Ia menjelaskan bahwa dampak pertama yang patut diantisipasi adalah perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

ADVERTISEMENT

"Di Taiwan, jumlah resmi penduduk asal Indonesia sekitar 300 ribu. Namun ada pula WNI tidak berdokumen yang jumlahnya bisa mencapai 400 ribu orang," ujarnya.

Selain keselamatan WNI, rivalitas China-Jepang turut mengancam stabilitas jalur pelayaran internasional yang menjadi nadi perdagangan Indonesia. Gangguan terhadap rantai pasokan global, termasuk sektor semikonduktor dan logistik maritim, dapat berdampak serius pada perekonomian nasional.

Ia juga menyoroti potensi meluasnya dinamika konflik ke Asia Tenggara melalui mekanisme konflik proksi. "Ini bukan hanya pertarungan geopolitik dua negara, tetapi bisa berimbas pada negara-negara tetangga," ujarnya.

Untuk menjaga posisi Indonesia, Oktaheroe menekankan perlunya mempertahankan prinsip non-blok dan memperkuat peran ASEAN sebagai penstabil kawasan. Indonesia, menurutnya, juga perlu membangun postur pertahanan yang fleksibel dan berbasis ancaman aktual.

"Selama ini kita sering menyebut musuh dari utara, tetapi utara yang mana? Itu masih belum jelas," katanya.

Karena itu, ia mendorong modernisasi Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) guna memperkuat kemampuan pertahanan laut dan udara Indonesia.

Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Unhan RI, Laksamana Muda TNI Buddy Suseto, turut menekankan pentingnya strategi pertahanan yang adaptif. Menurutnya, konflik China-Jepang bukan hanya persoalan dua negara, tetapi berkaitan erat dengan stabilitas perdagangan internasional.

"Sebagai negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kepentingan vital menjaga keamanan jalur pelayaran. Konflik ini berpotensi menyeret kawasan ke rivalitas strategis yang merugikan," ujarnya.

Ia menekankan pentingnya diplomasi, pertahanan, dan intelijen yang holistik demi menjaga politik luar negeri bebas aktif dan kedaulatan negara.

Sementara itu, Waasintel TNI, Laksamana Pertama TNI Oka Wirayudhatama, menilai letak Taiwan sangat strategis karena berada di "rantai pertahanan pertama" China. Taiwan berfungsi sebagai buffer zone bagi ekspansi Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (AL TPR).

"Tanpa Taiwan, AL TPR tak bisa bergerak bebas ke Pasifik Barat," ujarnya.

Selain aspek militer, Taiwan juga menjadi pusat vital industri semikonduktor global. "Kualitas industri semikonduktor Taiwan berada di atas China dan banyak negara lainnya," kata Oka.

Ia menambahkan bahwa Taiwan juga merupakan simpul penting dalam aktivitas intelijen kawasan, yang digunakan banyak pihak untuk memantau pergerakan China.

Laksma Oka juga mengingatkan bahwa eskalasi Asia Timur pasti berdampak pada Asia Tenggara, mengingat tingginya ketergantungan Indonesia pada perdagangan dengan Jepang, China, dan Taiwan. Menurut dia, cara terbaik mencegah konflik adalah menciptakan saling ketergantungan ekonomi dan politik antarnegara.

Ia juga menekankan pentingnya "ambiguitas strategis" sebagai strategi bertahan Indonesia. "Dalam geopolitik, Indonesia harus pandai menjaga posisi agar kedua kubu sulit menentukan keberpihakan kita," ujarnya.

Oka menggunakan analogi lokal untuk menggambarkan situasi tersebut. "Seperti berselancar di Bali, yang paling ditakutkan adalah dua ombak besar bertemu. Indonesia harus berusaha agar dua ombak itu tidak bertemu," katanya.

Pengajar Hubungan Internasional UI, Chaula Rininta Anindya, menyebut respons agresif China terhadap Jepang saat ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia mencontohkan kebijakan keras Beijing terhadap Korea Selatan saat penempatan sistem THAAD satu dekade lalu, ketika China membatasi perjalanan, menutup pusat perbelanjaan milik Lotte, hingga meningkatkan tekanan militer.

"Polanya konsisten: China menggunakan tekanan diplomatik, ekonomi, dan militer secara bersamaan," ujarnya.

Meski demikian, ia tetap mendukung posisi netral Indonesia. "Kondisi negara bisa berubah. China dulu low profile, kini agresif. Karena itu kita harus menjaga ruang manuver," ujarnya.

Ketua FSI, Johanes Herlijanto, menutup diskusi dengan menekankan pentingnya strategi bebas aktif. Menurutnya, mendukung salah satu pihak tidak menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang.

"Jika salah satu kekuatan menjadi terlalu dominan, situasinya bisa berbahaya. Karena itu netralitas bukan pilihan pasif, melainkan strategi menjaga kepentingan nasional," katanya.

(fdl/fdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads