Harga komoditas kelapa di Tanah Air mengalami kenaikan cukup signifikan dalam 1 tahun terakhir. Di tingkat rumah tangga sendiri, harga kelapa bahkan sudah naik dua kali lipat dibandingkan dengan awal tahun.
Berdasarkan survei Lembaga Survei KedaiKOPI, sebanyak 83% responden merasakan kenaikan harga kelapa atau produk turunan kelapa, dengan 45,2% di antaranya menilai kenaikannya signifikan. Kondisi ini banyak dirasakan pada IRT dan UMKM, sedangkan penjual kelapa lebih banyak yang merasa naik namun masih terjangkau.
Kepala Riset Lembaga Survei KedaiKOPI Ashma Nur Afifah mengatakan, kenaikan harga kelapa menjadi beban ekonomi baru bagi ibu rumah tangga hingga Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Menurut masyarakat yang membutuhkan, yang memakai produk kelapa ini, ada kenaikan harga, ada juga indikasi penurunan kualitas dan kadang juga terdapat (masalah) suplai," kata Ashma dalam acara Diskusi KedaiKopi di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (17/12/2025).
Survei tersebut mencatat, rata-rata harga kelapa utuh di level rumah tangga mencapai Rp 7.000 per butir sebelum Lebaran 2025. Angka ini naik 85% menjadi Rp 12.950 di pertengahan tahun, kemudian naik lagi 9,5% menjadi Rp 14.175.
"Jadi beban ekonomi itu terasa bagi ibu rumah tangga yang menganggap memang anggaran rumah tangganya meningkat. Bagi ibu yang mengurangi penggunaan kelapa memang alasan utamanya 80% karena harganya naik signifikan," ujar Ashma.
Lalu di level UMKM, rata-rata harga kelapa mencapai Rp 7.000 per butir sebelum Lebaran 2025. Angka ini naik 35,7% menjadi Rp 9.500 di pertengahan tahun, kemudian naik lagi 10,7% menjadi Rp 10.521.
Sedangkan perbandingannya dengan harga kelapa utuh di level pedagang kelapa, tercatat rata-rata harganya mencapai Rp 3.500 per butir sebelum Lebaran 2025. Angka ini naik 125,5% menjadi Rp 7.893 di pertengahan tahun, kemudian naik lagi 7,2% menjadi Rp 8.463.
Di samping itu, sejumlah responden juga merasakan keterlambatan suplai pada penjualan kelapa. Tercatat ada sebanyak 70% responden yang pernah merasakan keterlambatan pengiriman pasokan kelapa, walau frekuensinya jarang atau seminggu sekali.
Menurut penjual yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan kelapa tersebut, distribusi menjadi terbatas karena para pedagang kelapa saling berebut, ada juga yang merasa karena hasil panen gagal atau permintaan ekspor tinggi.
Lebih lanjut, Ashma memaparkan, dari sisi UMKM sendiri pengaruh kenaikan harga kelapa berdampak besar dari sisi operasional. Tercatat 74,4% responden merasakan kenaikan biaya modal, diikuti oleh kenaikan biaya operasional 40%, hingga akhirnya mau tidak mau mereka jadi menaikkan harga jual produknya.
"Kalau kita lihat polanya, gara-gara kenaikan harga ini modal UMKM itu naik sekitar 31%. Sedangkan biaya operasionalnya naik sekitar 34%. Sehingga mau gak mau mereka menjual harga jualnya jadi naik sekitar 26%," ujarnya.
Selanjutnya, tercatat 86% UMKM setuju bahwa kenaikan harga kelapa ini berpengaruh ke keuntungan. Ashma mengatakan, usaha yang paling banyak terdampak ialah catering, rumah makan padang, dan pedagang santan parut, dengan persentase mencapai lebih dari 80%.
Sedangkan di lingkup pedagang kelapa sendiri, survei mencatat bahwa sebanyak 78% penjual merasakan dampak kenaikan biaya modal. Lalu sebanyak 50% responden mengalami kenaikan operasional, serta 34% merasakan penurunan keuntungan.
"Nah mau nggak mau dengan naiknya harga kelapa, 60% dari penjual kelapa bulat merasa penjualannya turun. Dan 85% merasa kenaikan harga kelapa dan produknya ini berpengaruh terhadap keuntungan mereka," kata Ashma.
Lihat juga Video: Kejagung Geledah Bea Cukai Terkait Kasus Limbah Minyak Kelapa Sawit
(acd/acd)