Kenaikan harga kelapa yang tak terkendali dalam beberapa bulan terakhir memicu tekanan bagi masyarakat dan pelaku usaha kecil. Sejumlah pihak pun meminta pemerintah segera turun tangan untuk melindungi pasar domestik dari lonjakan harga yang berlarut-larut.
Survei Lembaga Survei KedaiKOPI mencatat, 83% responden menilai lonjakan ekspor berpengaruh terhadap kenaikan harga kelapa dalam beberapa waktu terakhir. Ekspor membuat pasokan di dalam negeri terbatas, sehingga harganya terkerek naik.
Kepala Riset Lembaga Survei KedaiKOPI Ashma Nur Afifah mengatakan, sebanyak 82% responden menyatakan kekhawatirannya terhadap stabilitas harga kelapa dalam 3 bulan ke depan. Apalagi mengingat kurang dari 3 bulan lagi masyarakat akan memasuki bulan Ramadan dan bertemu Lebaran.
"Ini wajar karena memang dari data survei kami juga naiknya (harga) cukup signifikan menjelang Lebaran. Dan angka rata-ratanya juga 7 (dari penilaian skala 1-10), yang berarti cukup khawatir terhadap harga ini," kata Ashma, dalam acara Launching Survei Harga Kelapa di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (17/12/2025).
Baca juga: Biang Kerok Harga Kelapa Naik Gila-gilaan |
Dari angka tersebut, KedaiKOPI mencatat pelaku UMKM menjadi pihak dengan jumlah kekhawatiran paling tinggi, dibandingkan responden ibu rumah tangga (IRT) dan penjual kelapa. Kenaikan harga kelapa tidak hanya berdampak pada operasional UMKM, tetapi juga pada keuntungan mereka.
Atas kondisi ini, Ashma mengatakan, sebanyak 89% responden meyakini bahwa pemerintah perlu segera melakukan intervensi. Hal ini salah satunya melalui pembuatan kebijakan agar harga kelapa kembali stabil dan terjangkau.
Kebijakan distribusi logistik menjadi prioritas utama yang diminta agar segera diperbaiki pemerintah, dengan dukungan 30% responden. Disusul dukungan 21% responden untuk penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk kelapa/santan.
"Lalu 18% kita mungkin harus ada pungutan ekspor. Jadi ekspor kelapa itu nggak sebebas dulu, untuk bisa mengatur pasokan dalam negeri," ujarnya.
Pengaturan ekspor kelapa menjadi langkah penting yang perlu segera dilakukan. Pemerintah sendiri saat ini masih dalam proses pembahasan tentang kebijakan pungutan ekspor (PE) kelapa bulat tersebut.
Selain kebijakan PE, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia Tulus Abadi menyarankan agar pemerintah menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Dalam hal ini, pemerintah perlu memprioritaskan alokasi kebutuhan nasional terlebih dulu.
"Kebutuhan nasional itulah yang harus diprioritaskan lebih dulu, jangan langsung ke ekspor. Untuk apa ekspor kalau kemudian di daerah, di lokal berdarah-darah. DMO-nya berapa? Misalnya 25% yang di hedging, patok 25%. Penuhi dulu kebutuhan lokal, kebutuhan nasional, baru bicara soal ekspor," kata Tulus.
Selain itu, ia juga meminta agar pemerintah juga menggencarkan hilirisasi kelapa untuk menciptakan nilai tambah. Hal ini mengingat ekspor yang dilakukan saat ini masih didominasi oleh ekspor produk kelapa bulat.
Menurut Tulus, tanpa pembenahan kebijakan ekspor dan penguatan hilirisasi, lonjakan harga kelapa berpotensi terus berulang dan semakin membebani konsumen dalam negeri.
Tonton juga video "Curhatan Gen Z Mimpi dan Realita Punya Rumah"
(acd/acd)