Presiden Diminta Turun Tangan Benahi Industri Hulu Migas

Presiden Diminta Turun Tangan Benahi Industri Hulu Migas

- detikFinance
Jumat, 30 Nov 2007 18:15 WIB
Jakarta - Kondisi hulu migas Indonesia saat ini dalam kondisi kritis. BP Migas meminta Presiden turun tangan menyelesaikan sengketa perpajakan dan bea masuk alat-alat eksplorasi impor.

Deputi Keuangan dan Pemasaran BP Migas Eddy Purwanto menjelaskan, negara bisa rugi setidaknya US$ 721 juta jika masalah ini tidak selesai.

Menurutnya, beberapa investor besar terancam gagal menanamkan modalnya karena terbebani bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal sebelumnya, para kontraktor migas dibebaskan dari pungutan-pungutan seperti ini. Namun sejak UU No 17/2006 diberlakukan, kontraktor tidak bisa mengeluarkan alat-alat eksplorasi yang diimpornya darim pelabuhan.

Akibatnya, proses eksplorasi pun banyak yang terseok-seok. Cita-cita peningkatan produksi pun makin jauh diangan-angan.

"Akibatnya, industri hulu migas terancam mengalami keterpurukan," katanya dalam jumpa persnya di gedung Patra Jasa, Jakarta, Jumat (30/1/2007).

Ia mencontohkan beberapa kasus. Seperti konsorsium Marathon, ENI, Anadarko, StatOil, Talisman, dan ConocoPhillips berencana mengebor 12 sumur di laut dalam sekitar Kalimantan Timur.

Dengan diberlakukannya UU tersebut, konsorsium tersebut terkena bea masuk, PDRI, dan pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) hingga US$ 211 juta saat akan mendatangkan rig atau menara bor. Jumlah itu sekitar 50 persen dari anggaran untuk menyewa rig yang sebesar US$ 420 juta.

Rencana investasi yang akan dikeluarkan konsorsium itu mencapai US$ 681 juta dengan kontrak rig US$ 420 juta dan nilai kapital rig terapung US$ 520 juta.

Contoh lainnya, kontraktor Easco East Sepanjang yang akan melakukan pemboran eksplorasi di Blok East Sepanjang di Jawa Timur. Awalnya, Easco mengalokasikan biaya pemboran hanya US$ 40 juta. Namun dengan adanya UU baru itu, maka mereka harus mengeluarkan biaya tambahan hingga US$ 30,1 juta.

"Artinya, pajak yang harus dibayar hampir setara dengan biaya pemborannya," tegasnya.
   
Eddy mengungkapkan, dari kedua kasus itu saja negara berpotensi kehilangan investasi US$ 721 juta. Bahkan bukan tidak mungkin  sejumlah investor akan membatalkan rencana pemboran eksplorasinya di Indonesia.

Lebih buruk lagi, jika para investor memilih menggarap ladang minyak di negara lain yang sistem fiskalnya dinilai lebih baik. Karenanya, ia meminta Presiden SBY turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini.

"Kondisi ini sudah mencapai titik kritis dan perlu campur tangan Presiden untuk menyelamatkan industri hulu migas nasional," katanya. (lih/ir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads