Ari, 29 tahun, bekerja di sebuah bank nasional lewat sistem outsourcing. Ia awalnya melamar via internet ke sebuah perusahaan yang menawarkan kerja di bidang perbankan. Ternyata setelah dipanggil, perusahaan itu adalah perusahaan outsourcing yang akan mengirim Ari ke bank yang membutuhkan tenaga kerja.
Ari kemudian ditempatkan di sebuah bank swasta cabang Depok dengan jabatan relationship officher. Tugasnya adalah menawarkan kredit dari rumah ke rumah calon nasabah yang ditunjuk bank. Sehari ia mendapatkan target untuk menemui 25 nasabah. Sementara sebulan, ia ditarget harus mencairkan kredit Rp 200 juta.
"Sulitlah target tercapai. Bisa dihitung sendiri, untuk waktu perjalanan dan menjelaskan soal kredit ke satu calon nasabah katakanlah butuh satu jam, kalau menuruti target ya sehari kerjanya 25 jam," jelas Ari.
Soal jam kerja juga tidak jelas. Sang bos menegaskan, karena bidang kerja relationship officer adalah marketing, maka jam kerjanya tidak mengenal waktu. Jam berapapun dan kapanpun nasabah membutuhkan harus siap datang.
Sehari-hari, Ari harus sampai kantor pukul 08.00 WIB, untuk absen. Setelah itu briefing dan pada pukul 10 ke lapangan untuk menemui nasabah. Pukul 17.00 WIB, wajib ke kantor lagi untuk urusan administrasi.
"Karena bosku gila kerja, kita rata-rata baru bisa pulang pukul 22.00 WIB dari kantor. Untung bos kemudian ditegur bosnya, jadi sekarang pukul 20.00 WIB sudah diusir dari kantor," jelas Ari.
Menurut Ari, bekerja dengan sistem outsourcing tidak enaknya adalah selalu cemas karena selalu terancam pemecatan. Bila salah sedikit atau bos tempat bekerja tidak senang dengan hasil kerjanya, si pekerja bisa langsung dipecat dan dikembalikan ke perusahaan outshourchingnya.
"Kalau dipecat kita tidak mendapat pesangon, karena kan nggak mungkin perusahaan outsourcing-nya mau menggaji kita," keluh Ari.
Karena terancam pemecatan itulah, biasanya pekerja outsourcing tidak berani macam-macam atau membantah si bos meskipun jam kerjanya telah menyalahi aturan tenaga kerja.
Selain itu, tidak enaknya kerja outsourcing adalah gajinya lebih rendah. Ari misalnya yang sarjana hanya digaji sesuai UMR dan mendapatkan transpor Rp 200 ribu perbulan. Ia tidak mendapatkan uang makan. Hanya saja ia mendapat insentif bila berhasil menggolkan kredit, yakni Rp 25 ribu untuk kredit Rp 10 juta yang berhasil dicairkan untuk nasabah.
Tapi enaknya kerja lewat outsourching adalah kriterianya atau syaratnya tidak ketat. "Masuknya lebih mudah. Umur misalnya tidak dibatasi, status mau nikah atau belum nikah juga tidak dipermasalahkan," katanya. (iy/qom)