BI Terlalu Lama Biarkan Dolar di Rp 8.500

BI Terlalu Lama Biarkan Dolar di Rp 8.500

Whery Enggo Prayogi - detikFinance
Senin, 26 Sep 2011 14:50 WIB
BI Terlalu Lama Biarkan Dolar di Rp 8.500
Jakarta - Penguatan mata uang rupiah terhadap dolar terlalu lama dibiarkan oleh Bank Indonesia (BI) pada beberapa bulan lalu. Hal itu menjadi salah satu penyebab kekhawatiran investor akan gejolak ekonomi dunia, yang berimbas pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini merupakan bentuk keseimbangan baru yang terbentuk oleh pasar. Demikian disampaikan Kepala Riset PT Danareksa (Persero) Purbaya Yudhi Sadewa, saat berbincang dengan detikFinance, di Jakarta, Senin (26/9/2011).

"Satu hal yang menjadikan orang khawatir akan pelemahan rupiah, karena kesalahan BI membiarkan rupiah berada di level Rp 8.500 terlalu lama," ungkapnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Posisi rupiah pada level Rp 8.500 kala itu, kata Purbaya, tidak mencerminkan kekuatan fundamental ekonomi Indonesia. Maka, saat terjadi sentimen global, keresahan menghantui investor. Akibatnya kurs mata uang lokal semakin terhempas ke level Rp 9.000.

Kurs rupiah yang terjadi saat ini, bukan merupakan kejutan atau indikasi ekonomi Indonesia akan terseret oleh sentimen pasar global. "Justru posisi saat ini mungkin bagaimana yang seharusnya. Jangan sekali-kali BI menjaga nilai tukar lebih lemah atau kuat dari fundamentalnya," tegasnya.

"BI harus belajar untuk menghitung fundamental, rupiah menguat tetap menguntungkan BI. Bukan masalah ekonomi. Motif memperkuat nilai tukar adalah motif kantong BI, karena dia harus serap SBI. Efeknya, sentimen negatif kemana-mana," imbuhnya.

Berdasarkan data BI, sampai dengan saat ini pergerakan kurs tengah rupiah terhadap dollar masih berada di level Rp 8.975, meningkat dari posisi akhir pekan sebelumnya, Rp 8.735.

Melihat pergerakan IHSG yang masih liar, ia percaya kondisi ini akan berangsur-angsur membaik. Bahkan jika risiko krisis Eropa benar terjadi tahun depan, ekonomi Indonesia tetap tumbuh minimal 6%.

Namun untuk mencapai angka pertumbuhan 6%, pemerintah punya pekerjaan besar. Yakni, meningkatkan belanja negara di 2012. Jangan sampai terjadi inefisiensi penyerapan anggaran seperti yang terjadi di 2010.

"Secara teknikal, saham-saham sudah berada di posisi bottom. Jangan kecele bagi investor yang belum keluar. Jangan panik," imbuhnya.

(wep/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads