Kondisi pelemahan rupiah ini salah satunya dikontribusi oleh besarnya angka subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Tingginya angka impor BBM mendorong pemerintah untuk menyediakan dolar lebih banyak sehingga melemahkan rupiah.
Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengungkapkan, opsi menaikkan harga BBM menjadi salah satu solusi menekan semakin kuatnya dolar terhadap rupiah.
Bayangkan saja, jika pemerintah terus mencari dolar hanya untuk memenuhi kebutuhan subsidi BBM.
Per Mei 2014, angka defisit minyak mencapai US$2,4 miliar. Dengan itu, pemerintah membutuhkan dolar begitu banyak.
"Defiist minyak kita Mei 2014 US$2,4 miliar, untuk menutup itu kita harus cari banyak dolar, bayarnya dengan cara ngeluarin utang. Ini yang bikin rupiah melemah," kata Budi saat berbincang bersama media di Jakarta, Kamis (17/7/2014) malam.
Menurut Budi, tak ada opsi lain untuk bisa kembali menyehatkan keuangan negara dan menstabilkan nilai tukar rupiah selain dengan menaikkan harga BBM. Kebijakan menaikkan BBM merupakan kebijakan sistemik yang harus segera diterapkan. Pemerintah mendatang harus bisa merealisasikannya.
"Yang paling penting delivery kebijakannya. Salah satu kebijakannya menaikkan BBM karena itu kebijakan sistemik bikin rupiah melemah. Menaikkan harga BBM bikin rupiah lebih kenceng," katanya.
Budi menjelaskan, kebijakan menaikkan harga BBM pasti akan menimbulkan polemik di masyarakat. Namun, ini salah satu cara penyehatan ekonomi bangsa.
Menurut dia, dengan menaikkan harga BBM, kebutuhan dolar berkurang sehingga rupiah bisa kembali menguat bahkan bisa sampai level Rp9.500. Sebaliknya, nilai tukar rupiah tidak akan bergerak jauh-jauh dari angka Rp11.700 jika tidak ada kebijakan yang tepat terhadap permasalahan subsidi BBM.
"Rupiah nggak jauh-jauh di Rp11.700, tetap kayak gini kalau BBM nggak dinaikin, melemahkan rupiah menaikkan suku bunga. Kalau dinaikkan rupiah bisa Rp9.500, kan subsidi BBM itu ada Rp2.000 per liter, itu dikali berapa banyak, dan berapa banyak kita butuh dolar. BBM naik akan ada gejolak tapi ini penyehatan," jelas Budi.
Apalagi, tambah dia, subsidi BBM hanya dinikmati kalangan yang justru tidak berhak menerimanya. Menurut data World Bank, kata dia, penikmat subsidi BBM untuk masyarakat yang pendapatannya 20% terbawah, hanya menikmati 6,4% saja subsidi BBM. Sedangkan 20% masyarakat yang penghasilannya tertinggi, menikmati subsidi BBM hingga 50,9%.
"Ini data World Bank, pengguna subsidi BBM itu yang masyarakat pendapatannya 20% terendah, hanya 6,4% menikmati subsidi, 20% orang terkaya pakai subsidi sampai 50,9%, ini kan nggak bener," tandasnya.
(drk/ang)











































