Paling akhir adalah nilai tukar rupiah yang anjlok gara-gara 'amukan' dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan dolar AS sempat hampir menyentuh Rp 13.000, terkuat sejak Agustus 1998.
Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), mengatakan rupiah bisa saja aman dari gejolak dunia. Asalkan transaksi berjalan atau current account tidak lagi pada level defisit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika transaksi berjalan defisit, artinya dalam suatu negara lebih banyak melakukan pembayaran ke luar negeri ketimbang mendapat pemasukan. Inilah sebabnya defisit transaksi berjalan bisa menyebabkan pelemahan mata uang di suatu negara.
"Negara dalam keadaan defisit di current account, artinya masih butuh pendanaan dari luar negeri. Makanya ketika ada gejolak global, kita kena dampaknya. Kita harus menerima kenyataan seperti ini," papar Mirza di Gedung BI, Jakarta, Rabu (17/12/2014).
Posisi defisit transaksi berjalan Indonesia paling tinggi adalah pada kuartal II/2013, yaitu 4,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemudian terus membaik dan pada kuartal IV-2014 diperkirakan menjadi 2,8% PDB.
"Bila current account tidak lagi defisit, maka artinya fundamental ekonomi sangat baik," sebut Mirza.
Untuk kondisi sekarang, Mirza mengakui sulitnya merealisasikan surplus transaksi berjalan. Sehingga untuk jangka pendek yang bisa dilakukan adalah tetap menjaga persepsi global agar tidak banyak aliran modal yang keluar.
"Kita nggak bisa mengabaikan persepsi dari luar negeri. Itu yang bisa dilakukan sekarang," kata Mirza.
Mirza pun mengisahkan pengalaman Turki, yang fundamental ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Pada 2010, saat krisis ekonomi di Eropa merebak, Turki mencoba 'melawan arus'.
"Waktu itu ada gonjang ganjing di Eropa, Turki malah turunkan suku bunga 500 basis poin. Hasilnya lira melemah sehingga kemudian dinaikkan kembali. Pada 2013, saat tapering off di AS, dia ulangi lagi kesalahan yang sama," papar Mirza.
Menurut Mirza, boleh saja sebuah negara punya pendirian yang kuat. Namun harus tetap realistis.
"Boleh saja punya keinginan melawan, tapi harus lihat realitas di pasar keuangan. Turki, Indonesia, dan Rusia itu tidak bisa produksi dolar. Jadi ya ikuti saja," imbuhnya.
(mkl/hds)











































