Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah bisa dimanfaatkan emiten untuk berburu saham-saham emiten berbasis ekspor. Tingginya dolar AS bisa memberikan keuntungan jangka menengah bagi kinerja emiten-emiten ini.
Analis PT Buana Capital Alfred Nainggolan mengatakan, saham-saham perusahaan komoditas bisa menjadi pilihan. Biasanya, pemasukan emiten komoditas berbentuk dolar AS.
"Emiten batu bara meskipun harga kurang menarik tapi diuntungkan kurs," katanya kepada detikFinance, Kamis (5/2/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"DSFI 95% ekspor, ini perusahaan perikanan. Tanpa ada kenaikan volume sekalipun dia diuntungkan dengan pelemahan rupiah," ujarnya.
Selain itu, investor juga mulai perhatikan saham-saham perkebunan sawit karena rata-rata orientasi ekspor. Banyak emiten sawit melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), seperti Astra Agro (AALI), SMART (SMAR), BW Plantation (BWPT), dan lain-lain.
Lalu saham-saham apa yang harus dihindari? Menurut Alfred, jawabannya adalah saham-saham yang punya bahan baku impor.
Emiten yang punya bahan baku impor contohnya yang berada di industri farmasi, bahan kimia, dan lain-lain.
"Kalbe Farma (KLBF) itu kan didominasi bahan baku dari impor, ini menekan margin, biaya produksi naik tapi mereka tidak bisa langsung naikin harga produk," ujarnya.
Selain itu ada emiten-emiten di industri kimia dasar, seperti Chandra Asri (TPIA). Alfed juga meminta investor perhatikan emiten dengan utang luar negeri yang tinggi.
"Sebaiknya investor prefer ke saham-saham emiten ekspor, itu paling baik. Saat IHSG menyentuh titik tinggi, saham-saham second liner juga perlu diperhatikan," ujarnya.
(ang/dnl)











































