Pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus Rp 13.000/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 17 tahun terakhir, alias sejak era krisis ekonomi 1998 (krisis moneter/krismon).
Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan, pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai menguatnya perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada 2008 lalu.
Kondisi ini membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara berkembang 'pulang kampung'. Sehingga tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang di duna yang juga melemah terhadap dolar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Akibat Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI)
|
|
Agus sempat menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia terkendali. Bahkan bukan tidak mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di kisaran 4%.
Pasar mengartikan ini sebagai sinyal, bahwa BI akan mulai mengendurkan kebijakan moneter. Salah satunya adalah peluang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate.
Ketika suku bunga semakin rendah, maka investasi di Indonesia sudah kurang menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal keluar (capital outflow) yang membuat rupiah melemah.
"Sepertinya bank sentral mengizinkan rupiah melemah. Ini memicu lebih banyak arus modal keluar," tutur Goh seperti dikutip dari CNBC.
Pada 17 Februari 2015, kala BI memangkas BI Rate dari 7,75% menjadi 7,5%, rupiah melemah sampai 0,56%.
2. Pudarnya Jokowi Effect
|
|
"Euforia atas kemenangan Presiden Joko Widodo tidak bertahan lama," ujar Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ.
Pasca pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli 2014, pasar keuangan Indonesia menikmati βguyuranβ arus modal masuk (capital inflow). Rupiah pun menguat hingga nyaris 5% selama periode 25 Juni hingga 23 Juli. Setelah itu, rupiah cenderung melemah karena euforia Jokowi Effect sudah terkikis.
Apalagi fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan," kata Goh.
3. Dolar Bisa Menyentuh Rp 13.250
|
|
"Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan," kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ.
Tidak hanya dari dalam negeri, rupiah juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS begitu 'perkasa' terhadap mata uang dunia. Ini ditunjukkan dengan Dollar Index (perbandingan dolar AS dengan mata uang utama dunia) yang mencapai titik tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
Oleh karena itu, Goh memperkirakan rupiah masih bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir tahun rupiah akan berada di posisi Rp 13.250/US$.
4. Hikmah di Balik Pelemahan Rupiah
|
|
"Ketika rupiah menyentuh Rp 13.200/US$, pelaku usaha akan mulai melakukan hedging untuk menghindari kerugian yang lebih dalam," kata Nizam Idris, Head of Strategy di Macquarie.
"BI mungkin sedikit nyaman dengan rupiah di kisaran Rp 13.000/US$. Namun aksi jual portofolio lanjutan bisa menyebabkan rupiah melemah lebih dalam," kata Nizam Idris, Head of Strategy di Macquarie.
Halaman 2 dari 5











































