Ekonom dari IPMI International Business School, Roy Sembel mengatakan, saat ini ada dua faktor yang mempengaruhi nilai pelemahan nilai tukar rupiah yang terus terjadi beberapa hari ini.
Dua faktor yang mempengaruhi nilai tukar tersebut adalah internal dan eksternal. Di faktor internal, Roy memaparkan yang mempengaruhi nilai tukar adalah inflasi, neraca perdagangan ekspor dan impor juga pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi dua aspek yakni produktivitas dan konsumsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Struktur pertumbuhan ekonominya negatif, jadi itu konsumsi, boost jadi negatif. Lebih banyak impor. Lalu ekspor-impor sayangnya 2014 masih negatif US$ 2 miliar. Meski ada sedikit perbaikan," kata Roy ditemui detikFinance di kampus IPMI, Jalan Rawajati, Kalibata, Jakarta, Rabu (11/3/2015).
Di sisi lain, yaitu faktor eksternal, AS sebagai negara basis mata uang dolar sedang dalam masa perbaikan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi yang kian membaik di AS membuat banyak investor merelokasi investasi atau modalnya ke AS. Hal itu membuat mata uang lain pun selain rupiah mengalami pelemahan.
"Jadi dolar makin dibeli. Masih banyak (mata uang) negara lain, (dolar) Australia, euro awal Januari sampai sekarang melemah, investor beralih realokasi dari negara lain. Itu negatif," katanya.
Belum lagi menurutnya rencana The Fed menaikkan suku bunga yang mana bisa membuat dolar semakin kuat. Menurutnya, itu akan berakibat pelemahan rupiah sebesar 1-2%.
"Rencana The Fed bakal jadi double trouble nih. Harus ada katup pengaman. Devisa kita jangan terlalu bebas. Meskipun BI punya cadangan devisa US$ 113 miliar, kalau dibandingkan dengan perdagangan mata uang US$ 3-5 triliun per hari itu sulit," tuturnya.
Dia menuturkan, yang harus dilakukan pemerintah adalah memfokuskan pertumbuhan ekonomi menjadi produktivitas. Jika produktivitas sudah tinggi, maka konsumsi akan bergerak sejalan karena daya beli masyarakat pun akan tumbuh.
"Pertumbuhan kita 60% masih konsumsi. Jadi kita harus tingkatkan investasi jadi produktivitas meningkat Kalau mengejar menuju negara maju, supaya nggak kena middle income trap, PR besar berinvestasi di infrastruktur, SDM, pasar domestik, atau pasar internasional, rules and regulation-nya supaya tidak tumpang tindih," paparnya.
Sementara itu, CEO IPMI International Business School Jimmy Gani menuturkan, di kalangan pebisnis, dolar yang terus menguat cukup memberatkan. Tapi ada juga sejumlah pengusaha yang diuntungkan, yaitu yang berorientasi ekspor.
"Kita sudah terlalu berat. Ini sudah terlalu mahal. Saya bukan expert, tapi saya rasa untuk (rupiah) turun ke Rp 13.000 itu luar biasa," tutupnya.
(zul/ang)











































