"Dolar itu tidak akan dibiarkan terapresiasi secara tajam," ungkap Edimon Ginting, Wakil Kepala Perwakilan ADB untuk Indonesia dalam diskusi Asian Development Outlook 2015 di Hotel Intercontinental, Jakarta, Selasa (24/3/2015)
Alasannya, posisi transaksi berjalan atau current account AS untuk sekarang masih defisit. Artinya secara fundamental pada sektor ril, AS belum sepenuhnya membaik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edimon menjelaskan, kondisi defisit AS sangat terpengaruh dari surplus yang dialami China. Ketika sekarang surplus China menurun tajam, seharusnya defisit AS ikut mendekati batas tengah.
"Tapi memang ada perbaikan di AS, current account deficit (CAD)-nya menurun, tapi tak tajam," sebut Edimon.
Maka itu, langkah untuk perbaikan CAD yang tepat adalah dengan ekspor. Tentunya mendorong ekspor dibutuhkan posisi mata uang yang lebih lemah. Agar nilai produknya menjadi lebih kompetitif.
"Artinya AS perlu upaya untuk mendorong ekspor lebh besar dari sekarang. Sehingga dolar tak bisa terlalu kuat," terangnya.
Jadi alasan yang cukup tepat bila kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS, The Fed, kemudian tidak dilakukan tergesa-gesa.
"Dengan pertumbuhan ekonomi pada Q1 tak setajam diperkirakan, dan mereka khawatir dolar terlalu kuat, maka rsiiko normalisasi itu menurun," imbuhnya.
Hal ini menjadi keuntungan untuk Indonesia. Karena semakin ada waktu melakukan pembenahan fundamental ekonomi melalui kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah.
"Kita semakin punya waktu untuk pembenahan fundamental. Jadi masih ada room," tukasnya.
(mkl/ang)











































