"Negara berkembang (emerging market) paling terpukul karena penguatan dolar. Mereka terpukul dari berbagai arah," jelas Direktur Investasi dari BKD Wealth Advisors, Jeff Layman, seperti dilansir dari CNN, Jumat (3/4/2015).
Selain tertekannya nilai tukar, negara berkembang juga menghadapi masalah politik, ketakutan naiknya bunga acuan bank sentral AS yaitu The Fed, dan anjloknya harga komoditas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mata uang negara berkembang memang tidak bisa menahan kecepatan penguatan dolar. Dalam 12 bulan terakhir, dolar menguat 8% dari mata uang di negara-negara berkembang.
Namun secara spesifik, dolar dalam setahun terakhir menguat 61% terhadap rubel Rusia, 43% terhadap real Brasil, dan 19% terhadap lira Turki.
Masalah makin berat bagi negara berkembang dan perusahaan yang memiliki utang dalam dolar. Mereka makin berat membayar utang-utangnya.
Negara seperti Turki, Meksiko, dan Indonesia, 20% dari utang pemerintahnya adalah dalam mata uang asing. Ini akan memberatkan negara-negara tersebut.
Sementara bagi perusahaan perdagangan, utang yang makin mahal akan membuat laba dan nilai sahamnya turun.
Saat dolar menguat, pergerakan uang biasanya mengarah ke Amerika Serikat (AS) dan pergi dari negara-negara berkembang.
Belum lagi soal sinyal The Fed menaikkan bunga acuannya pada Juni atau September untuk pertama kalinya dalam 1 dekade ini. Ini bakal menarik dolar AS pulang kampung. Karena selama ini, negara berkembang menikmati bunga acuan nyaris 0% yang diterapkan The Fed.
Penderitaan terakhir adalah, turunnya harga komoditas yang menjadi andalan negara-negara berkembang. Contoh saja Rusia yang menderita karena harga minyak turun dari di atas US$ 100 per barel menjadi US$ 48 per barel. Ditambah, Rusia sedang terkena sanksi ekonomi dari AS dan sekutunya di Eropa.
(dnl/rrd)











































