Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito.
"Intervensi datang dari mana saja. IPO (penawaran saham perdana) merupakan satu cara kurangi intervensi," kata Ito saat diskusi bertema 'IPO dan Kontribusi Ekonomi BUMN' di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Kamis (23/4/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semakin banyak lihat, BUMN makin baik kinerjanya. Melalui IPO, BUMN itu akan jalankan peraturan pasar modal. Diawasi BEI dan OJK. Yang penting diawasi sedemikian banyak investor. Diawasi oleh analis saham dan fund manager," jelasnya.
Tidak hanya itu, Ito sedikit mengkritik fungsi pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah bila BUMN tidak go public. Fungsi pengawasan oleh pemerintah, diwakili Kementerian BUMN, belum tentu efektif.
"Menteri BUMN bikin transparansi. Apakah ada daya paksa, BUMN lakukan transaparan? Daya paksa terjadi bila pihak yang mengawasi semakin banyak. Dari dulu Kementerian BUMN punya Komite Kebijakan Publik. Di sana punya orang yang integritas tinggi. Tapi semakin banyak melihat, BUMN makin baik kinerjanya," terang Ito.
Ito mencontohkan BUMN yang sukses IPO namun tidak meninggalkan fungsi berkontribusi terhadap kepentingan nasional seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Pasca IPO, kinerja keuangan dan modal BRI melonjak pesat namun tetap menjalankan fungsinya di dalam penyaluran kredit kepada pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
"Nilai saham BRI saat go public November 2003 sampai 17 April 2015 naik 30 kali lipat. Market cap-nya Rp 318 triliun, padahal saat 2003 market cap kurang Rp 11 triliun. Naik 30 kali dalam tempo kurang 12 tahun," paparnya.
(feb/hds)











































