China Bikin Geger Dunia, Ini Masalah Serius!

China Bikin Geger Dunia, Ini Masalah Serius!

Maikel Jefriando - detikFinance
Kamis, 13 Agu 2015 07:48 WIB
China Bikin Geger Dunia, Ini Masalah Serius!
Jakarta -

Tidak butuh waktu lama bagi China untuk membuat perekonomian global kembali geger. People's Bank of China (PoBC) atau Bank Sentral China melemahkan Yuan, para investor pun kemudian panik. Pasar keuangan serta mata uang dunia, terutama Asia kemudian jatuh serentak.

Selasa lalu (11/8/2015), depresiasi yuan terhadap dolar AS mencapai 2%. Dari 6,1162 menjadi 6,2298. Level tersebut adalah posisi terendah dalam tiga tahun terakhir.

"Apa yang yang terjadi di China di luar dugaan, dan ini adalah masalah serius," tegas Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, saat berbincang dengan detikFinance, Kamis (14/8/2015)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Chatib menjelaskan, bila masalah ini ditarik ke belakang, China tentu punya alasan yang kuat. Ekonomi negeri tirai bambu tersebut memang mengakhir masa pertumbuhan double digit dalam beberapa tahun terakhir. Sekarang cuma stagnan di sekitar 7%.

Ekspor yang selalu menjadi pendorong utama ekonominya anjlok cukup parah. Dari rilis terbarunya mencatat sepanjang Juli 2015, penurunan ekspor China mencapai 8,3% atau terendah sejak 4 bulan terakhir.

"Sekarang China tetap ingin mendorong pertumbuhannya melalui ekspor. Caranya adalah dengan devaluasi yuan sampai 2%," ujar Chatib yang sekarang aktif sebagai Senior Fellow Harvard Kennedy School.

Tapi apakah mungkin ekonomi China kembali tumbuh tinggi?

Konsumen utama dari barang-barang ekspor China adalah Eropa dan Amerika Serikat (AS). Sementara kedua kawasan tersebut masih dalam status ekonomi yang lemah. Terutama dari sisi konsumsi. Mereka pun juga ingin menggenjot ekspor untuk kembali menguatkan ekonominya.

"Kalau devaluasi menjadi langkah China, barang Eropa dan AS akan mahal dan nggak akan kompetitif melawan China. Artinya ekonominya tetap melambat dan mereka juga nggak akan bisa membeli barang dari China. Jadi efek untuk mendorong pertumbuhan China, nggak akan terjadi juga," paparnya.

China, menurut Chatib, dengan sengaja mengirimkan deflasi untuk Eropa dan AS. Termasuk ke banyak negara lain. Deflasi adalah semacam kondisi yang memaksa negara tak bisa tumbuh tinggi. Barang impor bisa didapat dengan murah, produsen berhenti berproduksi karena harga barangnya tak kompetitif dan roda ekonomi tak berjalan cepat.

"China secara tidak langsung mengirimkan deflasi. Jadi deflasi buat negara seperti Eropa dan AS itu jelek. Jepang juga begitu, karena ekonomi ya stagnan. Tidak bergerak," imbuhnya.

Peluang China untuk mencapai tujuannya semakin tipis. Tapi langkah yang diambilnya sudah menimbulkan gejolak. Bukan hanya buat satu atau dua hari. Tapi bisa dalam hitungan pekan, triwulanan, tahunan dan waktu-waktu selanjutnya.

Perekonomian Global Makin Tak Pasti

Tanpa ragu, Chatib memastikan sekarang investor berada dalam ketidakpastian. Alur ekonomi global sebenarnya mulai sedikit kondusif, setelah persoalan Yunani mereda. Bank Sentral AS, yaitu Federal Reserve (The Fed) juga memperkuat rencananya untuk merealisasikan kenaikan suku bunga di akhir 2015.

The Fed pasti akan berpikir ulang. Karena kenaikan bunga acuan bakal membuat dolar AS semakin menguat, setelah investor berbondong-bondong ke negeri Paman Sam untuk meletakkan dananya. AS adalah safe haven. Begitu para investor menyebutnya.

"Kalau The Fed naikkin (suku bunga), itu (dolar) akan lebih kuat lagi dan ekspor mereka akan terpukul. Terpaksa mereka menunda lagi. Ketidakpastian akan makin lama lagi dan menjadi lebih tinggi," ungkapnya dengan sedikit kecemasan.

Currency war atau perang mata uang adalah periode selanjutnya. Bila devaluasi China terus berlanjut, Eropa dan AS juga akan melakukan hal yang sama. Begitu juga dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan negara lain dengan kepentingan yang sama (semua negara inginnya ekonominya tumbuh tinggi).

"Sampai pada periode ini, artinya perdagangan di dunia nggak akan jalan," sebut Chatib.

Bagaimana dengan Indonesia?

Banyak pilihan yang bisa diambil Indonesia. Bisa saja ikut terlibat dalam currency war. Asalkan pemerintah siap menerima caci maki dari publik. Karena pelemahan rupiah (dianggap) adalah sebuah tanda kegagalan dari pemerintah. Termasuk kegagalan Bank Indonesia (BI).

Meskipun panjang lebar pemerintah menjelaskan pelemahan nilai tukar adalah bagian dari upaya mendorong ekspor. Tetap bakal sulit diterima masyarakat.

Sehingga, solusi untuk ekonomi Indonesia tetap tumbuh adalah, dengan memperkuat belanja dalam negeri. Atau sering disebut dengan kebijakan keep buying strategy. Chatib beranggapan, selama masyarakat masih mampu belanja, maka roda ekonomi tetap berputar.

Jangka pendek, pemerintah bisa memulai dengan mengurangi pajak masyarakat. Misalnya dengan menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kelompok barang tertentu dan jenis pajak lainnya.

Selain itu, juga bisa dengan mekanisme bantuang langsung untuk masyarakat miskin atau dulunya dikenal dengan nama Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Langsung Sementara Tunai (Balsem), yang nilainya Rp 10 triliun dalam 6 bulan untuk masyarakat miskin, itu menurut Chatib wajar.

Cara lain adalah, dengan mengaktifkan kegiatan di masyarakat desa. Perbaikan saluran irigasi, membangun tempat ibadah, taman belajar atau hal-hal lain yang bisa membuat uang berputar, namun dirasakan langsung oleh masyarakat.

Untuk langkah infrastruktur yang diusung oleh pemerintah sekarang, Chatib menilai sudah tepat. Tapi itu adalah jangka menengah panjang. Minimal dari pembangunan jalan, waduk atau pembangkit listrik, efeknya baru akan terasa dalam dua atau tiga tahun ke depan.

Akan tetapi, pemerintah juga harus hati-hati. Mekanisme ini jangan sampai dinikmati orang kalangan atas. Keep buying strategy harus untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

"Kalau orang berpenghasilan rendah diberikan tambahan uang, mereka pasti belanja, Karena pendapatan sekarang mungkin pas-pasan atau juga kurang. Beda kalau diberi uang ke orang kaya, pasti dia pilih menabung ketimbang belanja," tukasnya.

Apa yang terjadi sekarang, bukanlah barang baru. Berbagai teori dan pengalaman dari banyak negara termasuk di Indonesia sudah pernah terjadi. Pemerintah hanya butuh tenang dan ambil kebijakan yang tepat. Agar masyarakat juga tak ikut panik.

(mkl/dnl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads