Pembatasan ini dilakukan untuk menjaga stabilitas kurs dan mencegah spekulan. Efektifkah?
"Kalau nanya soal efektif nggak, itu artinya sama saja kamu cari yang negatif dari negaramu sendiri," kata Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara saat ditemui di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Kamis (20/8/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang di dalam situasi ekonomi yang melemah seperti sekarang ini, kelebihan itu sepertinya bukan dipakai untuk kegiatan ekonomi riil, ada kemungkinan untuk spekulatif," terang dia.
Menanggapi itu, Mirza menyebutkan, ada perubahan strategi operasi moneter dalam rangka menggeser kelebihan likuiditas.
Likuiditas rupiah dalam jangka pendek mengalami kelebihan sehingga memberi tekanan pada rupiah.
BI pun menggeser tenor instrumen moneter BI, dalam hal ini Deposit Facility (Fasbi) yang sebelumnya bersifat overnight atau satu malam ke arah 1 minggu, 3 minggu, 1 bulan, hingga 3 bulan.
"Jadi misalnya agak menumpuk di overnight, geser ke 1 hingga 3 bulan supaya likuiditas pas," katanya.
Mirza menilai, kondisi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini juga dialami negara-negara lain. Ini merespons perekonomian global, utamanya soal China yang melemahkan mata uang yuan.
"Apa yang terjadi di Indonesia juga terjadi di negara-negara di dunia, China turun, Eropa walaupun membaik sangat lambat, emerging market lain Brazil, South Afrika, Indonesia bukan sendirian, yang bagus hanya AS ekonominya," jelas dia.
Untuk itu, Mirza menyebutkan, jangan melihat masalah dari satu sisi. Dalam waktu dekat, BI akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait kebijakan pembatasan pembelian dolar ini. Diharapkan, kebijakan ini bisa menjadikan rupiah lebih baik.
"Dalam 1-2 hari ini PBI akan terbit. Jadi jangan melihat spesifik isu Indonesia tapi global, jadi bagaimana kita bisa terus mengawal supaya rupiah kita tetap stabil," tandasnya.
(drk/ang)











































