Menurut Tito, Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyulitkan perusahaan-perusahaan milik negara untuk go public. Sejak keluarnya UU tersebut 12 tahun lalu, hanya 8 BUMN yang sahamnya dilepas di publik. Sebelum adanya UU ini, sudah ada 13 BUMN yang listing di bursa.
"Sejak keluarnya UU BUMN tahun 2003, hanya 8 BUMN yang listing di bursa," ujar Tito dalam rapat kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (15/10/2015)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahapan tersebut dimulai dari usulan rencana privatisasi oleh Menteri BUMN, diusulkan dalam RAPBN, sosialisasi, konsultasi dengan DPR, pembentukan tim privatisasi, penetapan hasil seleksi, sampai proses IPO (Initial Public Offering). Banyaknya tahapan memakan waktu sampai bertahun-tahun.
"PT Semen Baturaja misalnya, mereka butuh 5 tahun 6 bulan hingga akhirnya bisa listing di bursa. Ada ketidakjelasan proses di pemerintah selama 4 tahun, persetujuan DPR butuh 1 tahun," ucapnya.
Beberapa perusahaan pelat merah pun ada yang akhirnya gagal melantai di bursa karena kandas di tengah tahapan, misalnya Perum Pegadaian dan PT Pos Indonesia.
Padahal, kata Tito, kenyataan telah membuktikan bahwa privatisasi membuat pengelolaan BUMN lebih baik, lebih transparan, dan nilainya melonjak sampai berkali-kali lipat. Bank BRI contohnya, kapitalisasi pasarnya saat baru IPO hanya Rp 10,19 triliun, kini sudah naik sampai 2.224% menjadi Rp 236,9 triliun.
"Fakta memperlihatkan bahwa BUMN yang diprivatisasi baik langsung melalui pasar modal dan cara lainnya mempunyai hasil kerja yang relatif lebih baik dibanding yang masih dikelola penuh birokrasi," Tito menjelaskan.
Karena itu, Tito berharap DPR mau merevisi UU 19/2003 agar BUMN bisa lebih mudah go public.
"Kalau UU ini direvisi, proses untuk listing bagi BUMN harus dipermudah," tutupnya.
(ang/ang)











































