Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Robert Pakpahan mengungkapkan, yield SUN baik konvensional maupun syariah ditetapkan berdasarkan kondisi likuditas pasar ini, turun hingga 180 basis point.
"Rata-rata dari September 2015 sampai Maret 2016 ada penurunan yield cukup siginifikan. Di data saya tanggal 23 September imbal hasil yang tenor 10 tahun 9,8% per 3 Maret, atau sudah turun 180 basis point, jadi memang bagus turun. Memang di ASEAN kita yang paling tinggi, itu dipengaruhi likuiditas,"Β jelas Robert ditemui di kantornya, Kompleks Kemenkeu, Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (7/2/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kaya ORI kan sangat tergantung di pasar sekunder. Yield juga pelan-pelan kita kurangi dengan melihat likuiditas, inflasi, kurs dan sebagainya. Tapi tetap supaya Sukuk dan ORI tetap kompetitif," ujarnya.
Robert mengungkapkan, meski banyak kalangan, khsusnya dunia perbankan meminta yield dari SUN diturunkan, penetapan yield tetap didasarkan pada kondisi pasar. Β
"Setiap hari ada orang berdagang, ada yang beli. Itu yang jadi penentuan price determination imbal hasil surat berharga negara. Jadi bukan karena regulasi, yield didikte atau apa, kalau banyak permintaan surat berharga negara harganya pasti tinggi dan imbal hasil turun," kata Robert.
Berbeda dengan bunga simpanan deposito, penetapan yield SUN dipengaruhi dari banyak hal seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan paling utama adalah likuiditas di masyarakat.
"Penetapan yield paling utama lihat likuditas. Likuiditas tinggi artinya banyak uang nganggur. Apa sebabnya? ekonomi pertumbuhannya bagus sehingga DPK (dana pihak ketiga) meningkat, terus kurs, sehingga tergantung dari ekspektasi orang, khususnya dari asing. Jadi segala faktor makro ekonomi, maupun moneter itu pengaruhi semua," tutupnya. (ang/ang)











































