Destry Damayanti, Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjelaskan, posisi defisit sekarang cukup terjaga pada kisaran 2,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun sampai dengan akhir tahun, secara akumulasi bisa di atas 3% terhadap PDB.
Pelebaran defisit dikarenakan tingginya impor bahan baku dan penolong untuk mendorong pembangunan infrastruktur di dalam negeri. Ada peluang, dolar AS bisa melemah ke level Rp 12.800, akan tetapi secara akumulasi 2016, dolar AS akan bergerak pada kisaran Rp 13.000.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persoalan ini memang cenderung menjadi masalah berulang setiap tahunnya. Seperti pada beberapa tahun lalu, saat ekonomi mampu tumbuh di atas 6%, tapi defisit transaksi berjalan justru ikut bergerak bahkan ke atas 4%. Hasilnya rupiah kemudian kembali melemah.
"Karena kita ada masalah struktural, Jadi saat ekonomi tumbuh, impor tinggi dan current account kita bermasalah," terangnya.
Pada sisi lain, adalah faktor eksternal yakni mata uang China, yuan. Melihat perlambatan ekonomi yang masih terjadi di China, maka bukan tidak mungkin kebijakan pelemahan mata uang kembali dilakukan.
Dampaknya, banyak negara yang kemudian akan ikut melemahkan posisi mata uang. Ini demi menjaga daya saing produk ekspor. Indonesia tidak mungkin akan membiarkan rupiah bergerak sendiri.
"Yuan devaluasi itu akan menahan penguatan rupiah, karena tidak mungkin kita akan menguat sendiri sementara banyak negara melemahkan mata uang," pungkasnya. (mkl/drk)











































