Demikian disampaikan Elvira Lianita, Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communications HMSP, dalam keterangan resminya yang diterima detikFinance, Senin (22/8/2016).
"Perlu kami sampaikan bahwa kenaikan harga drastis maupun kenaikan cukai secara eksesif bukan merupakan langkah bijaksana karena setiap kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok harus mempertimbangkan seluruh aspek secara komprehensif," ujar dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan cukai yang terlalu tinggi akan mendorong naiknya harga rokok menjadi mahal sehingga tidak sesuai dengan daya beli masyarakat. Jika harga rokok mahal, maka kesempatan ini akan digunakan oleh produk rokok ilegal yang dijual dengan harga sangat murah dikarenakan mereka tidak membayar cukai.
Perlu menjadi catatan penting bahwa dengan tingkat cukai saat ini, perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7% dan merugikan negara hingga Rp 9 triliun (berdasarkan studi dari beberapa universitas nasional).
Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja.
Terkait dengan harga rokok di Indonesia yang dibandingkan dengan negara-negara lain, maka perlu dilakukan kajian yang menghitung daya beli masyarakat di masing-masing negara. Jika membandingkan harga rokok dengan pendapatan domestik bruto (PDB) perkapita di beberapa negara, maka harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Informasi saja, hingga pukul 15.22 waktu JATS, saham GGRM merosot 700 poin (1,03%) ke Rp 67.275. Saham GGRM sempat menyentuh level terendahnya di Rp 66.600 dan tertingginya di Rp 68.100. Frekuensi saham GGRM ditransaksikan sebanyak 3.543 kali dengan total volume perdagangan sebanyak 11.885 saham senilai Rp 79,6 miliar. (drk/hns)











































