Demikian diungkapkan Direktur Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Isakayoga di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Dia mengaku mempertanyakan apakah selama ini daya serap pasar modal Indonesia masih kurang. Jika demikian, maka hal itu menurut dia perlu ditingkatkan, karena pasar modal harus melihat kondisi dari dua sisi, yakni suplai dan demand.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenyataannya adalah Kemungkinan calon-calon emiten ini mungkin masih perlu pemahaman lagi apa untung ruginya menjadi perusahaan Tbk sebagai salah satu cara untuk menghimpun dana, untuk pengembangan. Nah ini yang harus kita carikan," lanjut dia.
Padahal, kata Isakayoga, dari sisi regulasi pihak otoritas telah memberikan kemudahan-kemudahan, termasuk dalam hal membayar pajak.
"Pajak itu ada pengurangan 5% untuk mereka yang menawarkan sahamnya minimal 40%. Nah ini dari segi itu saya kira sudah terpenuhi semua. Sekarang yang perlu kita peroleh informasi adalah dari pihak perusahaan yang mau IPO itu," kata dia.
"Apa sih sebenarnya yang masih menghambat mereka untuk IPO? Apakah karena tidak percaya kepada pasar modal Indonesia atau ada kesulitan lain yang belum diketahui oleh otoritas karena mungkin menganggap proses dari IPO itu rumit padahal itu sebenarnya sederhana," sambungnya.
Oleh karena itu, dirinya menyatakan, sosialisasi diperlukan untuk dapat memberikan pencerahan kepada calon-calon perusahaan yang mau melakukan IPO. Dalam sosialisasi tersebut, kata Isakayoga, harus dijelaskan mengenai untung ruginya menjadi perusahaan Tbk.
Sedangkan untuk pihak otoritas, perlu mempertimbangkan biaya-biaya yang masih dapat diperhitungkan untuk diturunkan yang masih dalam koridor atau masih dalam jangkauan otoritas.
"Jadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mungkin masih punya wewenang untuk mempertimbangkan biaya pungutan oleh OJK. Bursa mungkin masih bisa mempertimbangkan untuk mengurangi biaya pencatatan," tuturnya. (drk/drk)