Menebak Nasib Rupiah di Tahun Pertama Trump

Menebak Nasib Rupiah di Tahun Pertama Trump

Maikel Jefriando - detikFinance
Minggu, 29 Jan 2017 08:56 WIB
Foto: Tim Infografis, Mindra Purnomo
Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan mata uang Indonesia yakni rupiah memiliki keterkaitan. Apa yang dilakukan oleh Trump sangat bisa untuk membuat rupiah naik maupun turun, bahkan dalam waktu berdekatan.

Periode 2017 yang merupakan periode pertama Trump akan menjadi sangat genting bagi rupiah. Trump dijadwalkan hadir dengan beragam kebijakan, di mana efeknya langsung terasa di pasar keuangan global, sampai ke Indonesia.

Salah satunya, untuk mendorong ekonomi AS tumbuh lebih cepat, yaitu 4% per tahun. Padahal sekarang realisasi pertumbuhan ekonomi AS hanya sekitar 1,6%. Strategi yang direncanakan adalah pemangkasan tarif pajak, dan menarik dana warga AS yang selama ini disimpan di negara lain atau disebut repatriasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Strategi mengurangi penerimaan negara dengan memangkas pajak, justru disambut dengan belanja yang agresif. Ini akan menyebabkan defisit anggaran membengkak, dan ujungnya adalah tambahan utang. Pemerintah AS seharusnya waspada, karena sekarang rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sudah melebihi 100%. Data terakhir utang pemerintah AS adalah US$ 19 triliun.

Kondisi itu sangat mempengaruhi espektasi investor, terutama terhadap suku bunga acuan AS atau Fed Fund Rate. Ekonomi yang tumbuh cepat beriringan dengan inflasi yang tinggi, berarti kenaikan suku bunga acuan juga bisa lebih cepat dari yang diperkirakan.

"Rupiah, masih terkait arahan suku bunga AS seperti dalam dua tahun terakhir. Ini sangat sensitif dengan pernyataan Janet Yellen," ungkap Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede kepada detikFinance, Minggu (29/1/2017).

Josua memperkirakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa lebih lemah dari yang diperkirakan oleh pemerintah maupun Bank Indonesia (BI). Pemerintah mengasumsikan dolar AS sepanjang 2017 Rp 13.300. Josua melihat ada kemungkinan untuk bisa sampai ke Rp 13.500.

"Atas kondisi global, rupiah bisa melemah ke posisi Rp 13.300-13.500," terang Josua.

Salah satu yang bisa menahan pelemahan rupiah dari ketidakpastian tersebut adalah penguatan ekonomi global. Josua melihat ada progres ekonomi yang cukup baik dalam dua tahun terakhir, sehingga mendorong minat investor untuk masuk ke dalam negeri.

Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan bisa lebih tinggi dari asumsi pemerintah (5,1%), yaitu 5,2-5,3%. Inflasi juga akan sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yakni di atas 4%. Sementara defisit transaksi berjalan, meskipun ada peningkatan, tetap bergerak pada batas yang terkendali.

"Sangat diharapkan data-data perekonomian Indonesia yang berbicara kepada investor," tukasnnya. (mkj/mkj)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads