Pada kerangka ekonomi 2018, pemerintah sependapat dengan pandangan fraksi PDIP, Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat, PAN dan PKB, bahwa nilai tukar perlu dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan nilai fundamentalnya.
"Perlunya menjaga nilai tukar rupiah agar sesuai fundamental yang menopangnya, namun tetap mendukung ekspor, memperbaiki transaksi berjalan, dan menarik aliran modal asing," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di Ruang Paripurna Gedung Nusantara II, DPR, Jakarta, Selasa (6/6/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nilai tukar rupiah tetap harus dijaga tanpa mengakibatkan penurunan ekspor, dapat memperbaiki dafisit transaksi berjalan, dan mampu menstabilisasi aliran modal asing. Upaya ini dipengaruhi oleh kondisi eksternal, domestik, serta kebijakan yang ditempuh pemerintah bersama dengan otoritas lainnya.
"Pemerintah bersama dengan otoritas moneter berkoordinasi melalui bauran kebijakan dalam menjaga kondisi perekonomian domestik dan memitigasi risiko-risiko eksternal," tambah Sri Mulyani.
Di sektor riil, kinerja transaksi berjalan diharapkan membaik seiring dengan perbaikan ekonomi dunia yang terus berlanjut di 2018. Adapun, dalam menetapkan asumsi nilai tukar di 2018 juga akan melihat beberapa faktor risiko seperti dampak kebijakan proteksionisme AS terhadap Indonesia melalui Tiongkok sebagai mitra dagang utama.
Selanjutnya, faktor risiko terhadap stabilitas rupiah sebaliknya datang dari sektor keuangan. Pemerintah mengantisipasi adanya potensi kenaikkan harga dolar AS seiring dengan normalisasi kebijakan suku bunga bank sentral AS (Fed Fund Rate).
"Pemerintah juga memperkuat kerja sama internasional untuk menjaga kepercayaan terhadap rupiah dengan membangun jaring pengaman dengan mitra dagang utama, baik bilateral, regional, dan global di antaranya melalui fasilitas Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA), Bilateral Swap Arrangement (BSA), dan Chiang Mai Initiative Multi/atera/ization (CMIM)," tutur Sri Mulyani. (hns/hns)











































