Ada beberapa hal yang menyebabkan maskapai berpelat merah ini mengalami kerugian. Pertama membengkaknya total pengeluaran yang naik 13% dari US$ 3,7 miliar menjadi US$ 4,25 miliar. Kenaikan yang paling besar dari biaya bahan bakar yang naik 25% dari US$ 924 juta menjadi US$ 1,15 miliar.
"Untuk fuel terkait sama harganya. Tapi sebenarnya bukan hanya karena peningkatan harganya tapi juga produksi (pesawat) meningkat jadi volume konsumsi bahan bakar juga naik," kata Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N Mansury di Kantor Garuda Indonesia Kebon Sirih, Jakarta, Senin (26/2/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, pengeluaran tersebut dianggap sebagai kebijakan manajemen dalam menyehatkan kondisi finansial perusahaan secara jangka panjang. Sedangkan partisipasi pada program tax amnesty tersebut merupakan komitmen perusahaan untuk menyelesaikan permasalahan pajak yang tertunda sampai dengan 2015 lalu.
Selain itu fluktuasi penumpang juga cukup membuat keuangan Garuda Indonesia terganggu. Apalagi pada akhir tahun lalu terjadi erupsi Gunung Agung yang membuat penurunan penumpang internasional.
"Apakah pengaruh Gunung Agung, kalau kita lihat ada. Jumlah penumpang internasional kita memang mengalami penurun dalam satu hari estimasi pengaruh 1-1,5 juta," tambah Pahala.
Sepanjang 2017 penumpang Garuda secara grup mencapai 36,2 juta penumpang. Angka itu terdiri dari penumpang Garuda Indonesia sebanyak 24 juta naik sedikit dari tahun sebelumnya 23,9 juta penumpang. Sementara penumpang Citilink naik dari 11,1 juta menjadi 12,3 juta penumpang. (dna/dna)