"Kalau sampai 2022, for sure we will be a part of those company. Karena kita prediksikan mestinya by tahun depan (2019) sudah bisa mulai IPO. Yang jadi masalah itu kan marketnya. Kita nggak ingin jualan pada saat marketnya lagi berisiko. Kalau tahun ini agak challenging," katanya kepada detikFinance dalam wawancara khusus di Velodrome, Jakarta Timur, Selasa (17/4/2018).
Adapun pertimbangan perusahaan untuk IPO pada tahun depan kata Satya mengingat kondisi pasar yang sudah mulai dingin pasca berlangsungnya masa kampanye di tahun politik. Menurutnya hal itu menjadi momen yang paling tepat bagi perusahaan mendapatkan dana murah dari publik seiring makin membaiknya kinerja perusahaan dan makin banyaknya proyek-proyek infrastruktur di Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena begitu masuk di semester II 2018, biasanya trust market itu akan wait and see. Kita belajar dari history saja, pada saat ada pemilihan presidensial, selalu ada stagnansi di dalam market untuk melakukan asessment, adjustment mengenai business continuity," katanya.
Lanjut dia, salah satu hal yang harus dipikirkan dengan matang oleh Jakpro saat ini adalah memastikan cara mana yang akan dipakai perusahaan untuk mendaptkan dana murah dari publik tersebut. Pertimbangan Jakpro saat ini adalah apakah mau melepas saham perdana lewat anak usaha atau melalui holding perusahaan yakni PT Jakpro sendiri.
Jakpro sendiri saat ini memiliki total aset senilai Rp 16 triliun. Leverage debt to ratio perseroan pun saat ini juga masih rendah karena pinjaman yang baru dipakai sekitar Rp 300-an miliar. Hal ini membuat perusahaan belum terburu-buru untuk melepas saham perdananya ke publik.
"Kita lagi bicara dengan financial advisor untuk memahami apa yang terjadi dan bagaimana kita bisa memanfaatkan momen dengan lebih baik. Yang kita nggak mau, bahwa kita bergerak terlalu cepat, momentumnya tidak kita hitung dengan baik, sehingga jadi cuma mau IPO dan leveraging-nya jadi murah," pungkasnya.
(eds/zlf)