Menanggapi hal tersebut, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan dalam jangka pendek nilai dolar AS terhadap rupiah memang masih kuat. Namun penguatan ini juga terjadi pada mata uang negara maju lainnya.
"Hari ini masih di kisaran Rp 14.000-an, tapi sudah lebih rendah dari kemarin. memang dolarnya masih kuat karena US Treasury yield-nya juga tinggi, ini yang membuat permintaan dolar meningkat," kata Josua saat dihubungi detikFinance, Rabu (23/5/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Defisit ini sangat pengaruh, jadi peluang untuk masih di angka Rp 14.000 ya masih ada," ujar dia.
Menurut dia bank sentral harus memperkuat kebijakan dan pengelolaan moneter untuk meredam gejolak nilai tukar. Selain itu pemerintah juga harus membantu dalam mendorong ekspor agar tidak terus-terusan kalah dari impor.
Selain itu, jika belum cukup BI juga bisa mengambil langkah stabilisasi dengan kebijakan giro wajib minimum (GWM) dan menaikkan kembali suku bunga. Josua menjelaskan, saat ini nilai tukar rupiah memang dihadapkan pada tekanan dolar AS.
"Perlu dilihat beberapa bulan ini kan ada jadwal pembayaran dividen untuk perusahaan multinasional, ekspektasi kenaikan bunga bank sentral AS, current account deficit yang naik. Nah ini yang membuat permintaan dolar secara besar-besaran," ujarnya.
Menurut dia, jika hal tersebut sudah dilewati maka tekanan rupiah terhadap dolar AS akan mereda.
Baca juga: Dolar AS Turun ke Rp 14.110 |











































