Dolar AS Mulai Jinak ke Rp 13.900, Sudah Aman?

Dolar AS Mulai Jinak ke Rp 13.900, Sudah Aman?

Hendra Kusuma - detikFinance
Rabu, 30 Mei 2018 03:21 WIB
Dolar AS Mulai Jinak ke Rp 13.900, Sudah Aman?
Jakarta - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah tampak mulai jinak. Kemarin dolar AS berada di Rp 13.985, mulai meninggalkan level Rp 14.000-an yang bertahan cukup lama.

Mengutip data perdagangan Reuters, Selasa (29/5/2018), dolar AS pada pagi sekitar pukul 10.00 WIB, berada di level Rp 13.985.

Posisi tersebut lebih rendah dari posisi sebelumnya yang di Rp 14.118. Posisi tertinggi pekan ini berada di Rp 14.205 yang terjadi kemarin, Senin (28/5/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebijakan Bank Indonesia (BI) sepertinya muali memberikan dampak. Untuk meredam gejolak nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, BI memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate bisa dipercepat sebelum jadwal Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan.

Dalam siaran pers, Bank Indonesia memutuskan untuk mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan tambahan pada Rabu, 30 Mei 2018. RDG tambahan ini tidak menggantikan RDG bulanan reguler yang tetap akan diselenggarakan sesuai jadwal. RDG Bulanan tambahan ini akan membahas kondisi ekonomi dan moneter terkini serta prospek ke depan.

Pada 17 Mei 2018 BI telah menggelar RDG dan menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,5% dari sebelumnya 4,25%. Sementara itu, untuk suku bunga deposit facility juga naik menjadi 3,75% dan suku bunga lending facility naik menjadi 5,25%.

Apakah nilai dolar AS yang melemah membuat ekonomi nasional lebih baik atau sebaliknya? Simak selengkapnya di sini:
Meski nilai dolar Amerika Serikat (AS) sudah meninggalkan level Rp 14.000-an, namun hal itu masih memberikan dampak cukup signifikan terhadap kegiatan perekonomian nasional.

Karena nilai dolar AS saat ini sudah berada di level Rp 13.900 atau masih jauh meninggalkan asumsi yang ditetapkan Rp 13.400 per US$ di APBN 2018.

Peneliti dari Institute dor Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan dampak yang bisa dirasakan oleh Indonesia adalah biaya produksi industri manufaktur yang bergantung pada bahan baku impor.

"Karena pendapatan industri dalam bentuk rupiah sementara harus beli bahan baku pakai dolar, selisih kurs membuat biaya produksi naik," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Selasa (29/5/2018).

Dampak selanjutnya pada biaya logistik yang lebih tinggi. Sebab, naiknya harga minyak mentah ditambah pembayaran menggunakan dolar, otomatis biaya logistik semakin mahal bagi pelaku usaha di Indonesia.

Menurut Bhima, ada pula efek domino dari mahalnya bahan baku plus jasa angkutan impor yakni membuat inflasi merangkak naik. Sebab, sebagian kebutuhan pokok dipenuhi dengan impor.

"Kurs rupiah mempengaruhi biaya impor minyak mentah, harga minyak dunia masih mahal, besar kemungkinan harga BBM non subsidi termasuk Peretalite akan terus dinaikkan, imbasnya kemana-mana, salahsatunya ke kenaikan biaya transportasi," jelas dia.

Sedangkan efek selanjutnya, kata Bhima, efek terhadap risiko gagal bayar utang luar negeri swasta. Menurut dia, menguatnya dolar AS membuat swasta menanggung rugi karena membayar cicilan pokok dan bunga lebih mahal.

Bhima mengatakan daya beli masyarakat pada puasa dan Lebaran tahun ini akan masih terdampak dari nilai dolar AS meskipun mengalami pelemahan. Hal itu dikarenakan beberapa kebutuhan pokok dipenuhi oleh impor.

"Efek domino dari mahalnya bahan baku plus jasa angkutan impor membuat inflasi merangkak naik," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Jakarta, selasa (29/5/2018).

Efek domino dari nilai tukar ini dikarenakan pendapatan masih dalam bentuk rupiah, namun biaya memenuhi kebutuhan harus menggunakan dolar. Sehingga, biaya operasionalnya pun menjadi lebih tinggi.

Adapun, sebagian kebutuhan pokok yang diimpor mulai dari beras, gula, garam, gandum, kedelai, daging, bahkan sampai singkong.

"Ujungnya kalau ada kenaikan harga kebutuhan pokok, daya beli bisa menurun," jelas dia.

Selain itu, tingginya nilai dolar AS juga berpengaruh terhadap kenaikan biaya transportasi. Sebab, biaya minyak mentah masih tinggi belum lagi ditambah biaya impor.

"Besar kemungkinan harga BBM non subsidi termasuk Pertaliter akan terus dinaikkan, imbasnya bisa kemana-mana salah satunya ke kenaikan biaya transportasi," kata dia.

Chief Economist Samuel Sekuritas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan melemahnya nilai dolar AS dikarenakan faktor eksternal dan internal.

"Jadi kalau kita lihat perkembangan penguatan rupiah beberapa terakhir, katakanlah sejak Pak Perry dilantik, itu juga terbantu dengan pelemahan US$, jadi yang menguat itu tidak hanya rupiah, begitu juga dengan rupiah melemah tapi semua mata uang global," kata Lana saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Selasa (29/5/2018).

Lana menyebut dolar AS melemah karena turunnya harga minyak mentah dunia, serta adanya potensi Arab Saudi dan Rusia yang mau menambah produksi minyak. Potensi tersebut membuat harga minyak terus turun dan rentang inflasi pun tidak menjadi tinggi.

"Globalnya tidak khawatir inflasi, sehingga mereka tidak memburu dolar, itu faktor global yang membantu, itu faktor dari luar negeri," tambah dia.

Sedangkan faktor dalam negeri, kata Lana, salah satunya adalah kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate yang dianggap pasar bahwa rupiah masih dikelola dan dijaga nilai tukarnya oleh pemerintah.

Tidak hanya itu, lanjut Lana, faktor yang berasal dari dalam negeri juga berasal dari siklus permintaan dolar di dalam negeri sudah menurun. Terutama pada kegiatan transaksi ekspor dan impor.

Lana menceritakan, permintaan dolar seharusnya tetap tinggi sampai pertengahan Juni. Namun, keputusan pemerintah menetapkan libur Lebaran pada pertengahan Juni, maka transaksi atau permintaan dolar dipercepat pada dua minggu terakhir bulan Mei.

Mulai melemahnya dolar AS ini dikarenakan faktor eksternal salah satunya ada komitmen penambahan jumlah produksi minyak di Arab Saudi dan Rusia. Lalu sampai kapan tren pelemahan nilai dolar AS ini?

Lana mengatakan tren pelemahan dolar AS bakal berlangsung sampai pertengahan Juni.

"Yang kita belum tahu ini hasil yang di luar negeri, kita tunggu hasil Opec di bulan Juni," kata Lana saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Selasa (29/5/2018).

Lana bilang, faktor dalam negeri yang membuat dolar AS melemah salah satunya adalah kenaikan suku bunga BI 7 Days Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,5%.

Oleh karena itu, nilai dolar AS yang sekarang berada di kisaran Rp 13.900 ini bakal ditentukan bisa terus menurun, bertahan, atau malah kembali menguat pada pertengahan Juni atau pada saat Opec meeting.

"Opec itu akan bertemu dengan anggotanya, apakah anggota opec ini setuju oleh usulan Arab Saudi untuk menambah produksi, kan tadinya produksi di-cut, karena harga minyak waktu itu masih murah US$ 45 per barel, akhirnya mereka sepakat cut produksi, sampai akhirnya stok minyak negara maju turun drastis sampai di bawah rata-rata, Arab usulkan kenaikan produksi, rusia setuju, anggota lain belum setuju, bertemunya pertengahan Juni, itu yang akan menjadi penentu apakah minyak mentah kembali naik atau bertahan, atau malah turun, itu akan menentukan pergerakan US$," jelas Lana.

Guna menjaga rupiah, Lana berharap Bank Indonesia bisa melakukan intervensi ganda selama satu minggu di akhir bulan Mei. Dia berharap, otoritas moneter bisa menggiring dolar ke level Rp 13.500.

"ya balik ke asumsi, jadi kalau ada potensi pelemahan lagi itu ruangnya masih lebar, jadi mestinya kalau tekanan lagi melemah gini dibawa turun sukur-sukur ke 13.500 karena enggak akan banyak perlawanan, kalau rupiah melemah terus diintervensi itu seperti garemin air laut, sia-sia kan diserap terus sama pasar," papar dia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat untuk tidak lagi terlalu khawatir dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

"Kan sudah mulai di bawah Rp 14 ribu," kata dia di Kampus Muhammadiyah Prof DR Hamka (UHAMKA), Jakarta Timur, Selasa (28/5/2018).

Menurut Jokowi, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah baru-baru ini mulai memberikan dampak positif.

"Kita harapkan dengan kebijakan moneter, diantisipasi dan dilakukan oleh BI, saya kira sangat baik dan saya selalu memerintahkan pada Menko Ekonomi, Menkeu untuk menyiapkan langkah-langkah yang memang di wilayah pemerintah, yang konkret agar bisa membantu BI dalam mengendalikan kurs. Karena ini fenomena global, semua negara mengalami," beber Jokowi.

Hide Ads