-
Tutupnya bisnis PT Modern Sevel Indonesia (MSI) meninggalkan beban yang begitu besar kepada induknya PT Modern Internasional Tbk (MDRN). Hingga saat ini sang induk masih berjibaku melunasi tumpukan utang tersebut.
Bagaimana tidak, MSI yang mengoperasikan 7-Eleven di Indonesia memang menjadi bisnis andalan MDRN sejak pertama kali berdiri di 2009. Perseroan bahkan meninggalkan bisnis lamanya, distributor Fuji Film.
Perseroan juga rela menumpuk utang demi memajukan anak usahanya itu. Tapi ternyata bisnis andalannya itu mulai oleng ketika pemerintah mengatur penjualan minuman beralkohol termasuk bir.
Sevel pun gulung tikar pada 30 Juni 2017. Saat itu total liabilitas MDRN di kuartal I-2017 mencapai Rp 1,38 triliun sedangkan total asetnya mencapai Rp 1,57 triliun.
Ada beberapa strategi MDRN untuk melunasi utangnya. Strategi itu diluar daru putusan sidang penundaan kewajiban pembayarab utang (PKPU) yang prosesnya tengah berjalan hingga Oktober 2018.
Namun perseroan sebelumnya tak mendapatkan restu untuk melakukan restrukturisasi. Hingga akhirnya restu itu didapat perseroan setelah menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) kemarin
"Kali ini kuorum untuk dua agenda itu," kata Direktur MDRN Johannis di Gedung Ricoh, Jakarta.
Ada 2 mata agenda RUPSLB MDRN, yakni persetujuan penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) dalam rangka konversi utang ke ekuitas, serta persetujuan penjaminan dan penjualan aset melebihi 50% dari kekayaan bersih.
PMTHMETD itu dalam rangka mengurangi utang kepada PT Bukit Hedama Permai (BHP) yang dikonversikan menjadi kepemilikan saham. MDRN sendiri akan menerbitkan sebanyak 457.469.799 lembar saham baru atau 10% dari modal yang disetor penuh dengan nilai Rp 100 per saham sehingga setara Rp 45,75 miliar.
"Utang kita sekitar Rp 119 miliar ke BHP, jadi setidaknya bisa mengurangi," tuturnya.
Sebenarnya keputusan untuk konversi utang ke saham itu merupakan transaksi afiliasi. Sebab BHP juga merupakan pemegang saham MDRN sebesar 26,64%. Sungkono Honoris selaku Dirut MDRN juga menjabat sebagai direktur di BHP.
Selain itu perusahaan juga mendapatkan restu untuk melakukan restrukturisasi utang-utang lainnya dengan cara meminta perpanjangan waktu pelunasan utang. MDRN akan mengandalkan bisnis barunya sebagai agen importir Ricoh untuk pembayaran nantinya.
"Mayoritas sudah dapat lampu hijau dari mereka kreditur, dalam waktu dekat kita akan push lagi. Maksimal kita minta perpanjangan 10 tahun, tapi bervariasi," tambah Johannis.
Total liabilitas lancar MDRN saat ini sekitar Rp 1,26 triliun. Liabilitas itu terduri dari utang bank maupun non bank baik jangka pendek ataupun jangka panjang yang jatuh tempo dalam kurun waktu 1 tahun.
Sementara itu, MDRN dalam waktu dekat akan melunasi sisa utang terhadap PT Bank CIMB Niaga Tbk sebesar Rp 43,85 miliar. "Itu dibayar dalam waktu dekat, ya sumbernya diada-adain lah," ucap Johannis.
Sedangan untuk utang Bank Mandiri Rp 148 miliar, Bank Permata Rp 4 miliar dan Standard Chartered Bank sebesar Rp 42,9 miliar akan diajukan permohonan perpanjangan waktu pelunasan. Belum lagi utang terhadap perusahan keuangan non bank lainnya.
Sekedar informasi saat ini aset dari mantan induk PT Modern Sevel Indonesia (MSI) ini sebesar Rp 873,68 miliar. Sehingga total liabilitas perseroan mencapai 147% dari aset yang dimiliki.
Peralatan 7-Eleven (Sevel) hingga saat ini tak kunjung laku dijual. Jika sampai Oktober 2018 juga tak laku maka peralatan itu akan dilelang.
Padahal PT Modern Internasional Tbk (MDRN) selaku PT Modern Sevel Indonesia (MSI) membutuhkan dana segar untuk membayarkan utang yang menumpuk setelah Sevel gulung tikar.
Adapun peralatan yang dijual di antaranya mesin pembuat kopi, microwave, freezer dan peralatan lainnya. Penjualan peralatan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Borrelli Walsh selaku konsultan yang menjadi mediator proses penyelesaian utang MSI.
Meski begitu, MDRN tak kehabisan akal. Perseroan bersama dengan konsultannya itu menyewakan peralatan tersebut kepada Podjok Halal. Convenience store bernuansa islami itu sejak pembukaan di awal tahun ini.
"Mereka enggak beli tapi hanya sewa peralatan kita. Uangnya masuk ke Borrelli Walsh, agen kita itu harus bayarkan ke kreditor," kata Johannis.
Namun Johannes mengaku pemasukan dari sewa peralatan itu tidak terlalu besar. Sebab Podjok halal hanya menyewa beberapa peralatan dari kebutuhan alat per gerai.
"Yang disewain enggak banyak, ya mungkin di bawah 10% dari perlatan yang ada, kecil lah. Gerainya Podjok Halal juga paling cuma berapa dan itu tidak full semua peralatan Sevel yang dipakai cuma beberapa saja," tambahnya.
Meski begitu, dia mengaku perusahaan akan bersedia melakukan apapun demi menghasilkan uang tunai. Tujuannya hanya satu untuk melunasi utang baik kepada kreditir maupun supplier.
"Ya mau bagaimana lagi, sementara sekarang jual juga sulit yang penting semuanya bisa hasilkan uang," tambahnya.
Jika peralatan itu tak kunjung laku, maka menurut keputusan sidang akan dilelang. Adapun batas waktunya sampai Oktober 2018.
Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) MSI sendiri pada Oktober 2017. Perseroan diwajibkan menyelesaikan seluruh kewajibannya terhadap kreditur, supplier, karyawan hingga pajak paling lambat 1 tahun setelah putusan sidang.
PT Modern Internasional Tbk (MDRN) masih menyisakan kewajiban terhadap mantan pegawai 7-Eleven. Kewajiban itu berupa pesangon yang belum dibayar sejak PT Modern Sevel Indonesia (MSI) gulung tikar.
Direktur MDRN Johannis mengatakan pihaknya masih belum melunasi sisa pembayaran pesangon beberapa mantan pegawai Sevel. Sementara untuk sisa gaji, pembayaram BPJS hingga THR dia mengklaim sudah melunasi.
"Ya masih sama, hanya pesangon sisanya," tuturnya.
Johannis menjelaskan sesuai keputusan sidang PKPU jumlah pesangon mantan pegawai Sevel yang harus dibayar sebesar Rp 17,5 miliar. Saat ini masih ada sekitar 50% yang belum dibayarkan. Perusahaan mempunyai tenggat waktu hingga Oktober 2018.
MDRN juga telah mencairkan uang jaminan kontrak (security deposit) yang tersimpan di 7-Eleven pusat sekitar US$ 5 juta. Namun ternyata uang itu tidak cair sepenuhnya.
Uang tersebut juga digunakan tak hanya untuk membayar kewajiban pegawai tapi juga utang supplier dan kreditur.