Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono menjelaskan, pada saat krisis 98 dolar AS langsung meroket dari kisaran Rp 2.300 ke levl Rp 15.000. Penyebabnya pun berbagai faktor.
"Krisis 98 itu penyebab awalnya bukan politik tapi hyper inflation. Terjadi pengangguran, rupiah terdepresiasi," tuturnya di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (24/7/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara depresiasi rupiah saat ini dimulai dari level Rp 13.700 hingga menembus level Rp 14.500. Persentase penurunan jauh lebih kecil dibanding saat krisis 98.
"Jadi harap dibedakan. Enggak mirip. Karena saat 98 loncat, free fall (terjun bebas)," tambahnya.
Dirinya pun berharap agar pelaku pasar tidak panik melihat pelemahan rupiah saat ini.
Tony menjelaskan ada 3 penyebab pelemahan rupiah saat ini, yakni kenaikan suku bunga acuan di AS oleh The Fed, perang dagang antar AS dan China, serta kenaikan harga minyak.
Dia pun mengakui pelemahan rupiah di bawah perkiraannya. Nilai tukar rupiah juga lebih rendah dari perhitungan fundamentalnya.
"Kalau berkaca pertumbuhan ekonomi, inflasi, devisa, tidak layak rupiah itu Rp 14.400. Berarti masih ada persepsi yang kurang tepat terhadap rupiah," terangnya. (dna/dna)