. Kemarin dolar AS sempat tembus level Rp 14.729.
Menurut data perdagangan Reuters, kemarin dolar AS bergerak di level Rp 14.660 hingga 14.729. Angka tersebut tertinggi dalam tiga tahun terakhir namun masih kalah dari rekor Rp 14.855 yang terjadi pada 24 September 2015. Ini juga merupakan rekor tertinggi dolar AS di 2018.
Pelemahan rupiah juga berdampak ke pasar modal. Kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup merosot 0,76% ke posisi 6.018. Padahal di sesi pertama IHSG terus menguat, bahkan sempat sentuh 6.086.
Kurs dolar di 4 bank besar juga menunjukkan level yang hampir sama. Pada kurs jual 4 bank besar ini juga mematok di level Rp 14.700an.
PT Bank Mandiri Tbk
Kurs beli: Rp 14.500
Kurs jual: Rp 14.725
PT Bank Negara Indonesia Tbk
Kurs beli: Rp 14.535
Kurs jual: RP 14.785
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk
Kurs beli: Rp 14.610
Kurs jual: Rp 14.750
PT Bank Central Asia Tbk
Kurs beli: Rp 14.691
Kurs jual: Rp 14.713
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah sebelumnya menjelaskan tekanan yang terjadi pada rupiah dipicu oleh faktor eksternal. Yakni revisi data produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat (AS) kuartal II.
"Tekanan terhadap rupiah dipicu oleh revisi data PDB AS triwulan II, dari 4,1% menjadi 4,2%, langkah PBOC memperlemah mata uang Yuan di tengah negosiasi sengketa dagang AS dan China yang belum tercapai, serta melemahnya mata uang Argentina peso dan lira Turki," kata Nanang.
Dia menyebut hari ini Bank Indonesia berada di pasar untuk memastikan pelemahan Rupiah tidak cepat dan tajam. Bank Indonesia juga masuk ke pasar surat berharga negara (SBN) untuk melakukan stabilisasi.
Namun karena sentimen global, seperti normalisasi kebijakan moneter di AS, ancaman kenaikan suku bunga The Fed hingga perang dagang AS dengan China dari Maret hingga sekarang, the greenback pun kian perkasa.
Dolar Amerika Serikat (AS) kembali mendominasi dan telah menembus level Rp 14.729 sore ini. Level itu merupakan tertinggi dalam tiga tahun terakhir namun masih kalah dari rekor Rp 14.855 yang terjadi pada 24 September 2015.
Namun pelemahan mata uang ini masih dianggap belum mengkhawatirkan. Tekanan akibat kondisi perekonomian global dan domestik membuat nilai tukar Rupiah itu dianggap biasa saja.
"Itu pelemahan wajar di tengah masih begitu besarnya tekanan terhadap rupiah, baik dari global maupun domestik," kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah kepada detikFinance.
Dari sisi global, rupiah tertekan mulai dari arah kebijakan Bank Sentral AS, The Fed yang akan kembali menaikkan suku bunga, krisis perekonomian di beberapa negara dan perang dagang AS vs China.
Sementara dari sisi domestik ada sentimen negatif datang dari semakin lebarnya defisit neraca dagang RI. Ada indikasi defisit neraca dagang RI hingga akhir tahun mendekati 3%.
"Itu warning bahwa kondisi CAD (current account deficit) tidak bisa ditutup dengan neraca modal kuartal kedua kemarin," tambahnya.
Bank Indonesia (BI) juga mencatatkan defisit neraca pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2018 semakin lebar sebesar US$ 4,3 miliar. Itu artinya suplai dolar tidak mencukupi permintaan dolar di dalam negeri.
"Jasi dalam kondisi seperti itu kalau rupiah bergerak melemah itu suatu kewajaran. Bahkan kalau saya bilang level Rp 14.700 masih bagus, itu artinya BI ada di pasar," ujar Piter.
Menurut Piter tekanan terhadap rupiah akan terus terjadi hingga tahun depan. Dia menilai jika dolar AS masih di bawah Rp 15.000 masih dalam batas wajar.
Terpisah, Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah ini didominasi karena ketidakpastian global yang masih berlangsung.
"Sentimen dari global masih besar," kata Andry dalam acara ekonomi outlook di kantor pusat Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (30/8/29/2018).
Tantangan global, kata Andry, berupa krisis ekonomi Turki dan perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Selain itu, kondisi defisit transaksi berjalan (CAD) pun menjadi salah satu penyebabnya.
Andry menjelaskan, CAD yang defisit membuat finansial menjadi kurang terbukti adanya arus modal yang keluar. Jika CAD terjaga maka suplai demand terhadap valas pun terkendali.
"CAD masih tantangan. Arah CAD di kuartal II on-off, mestinya di 3-4% berkurang tekananannya, 2,5% sampai akhir tahun," tutup dia.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai pelemahan nilai tukar itu masih dalam tahap wajar, dampaknya pun dia yakini takkan terlalu signifikan.
Namun pelemahan rupiah akan berdampak pada keuangan negara. Sebab pemerintah telah menegaskan bahwa hingga akhir 2019 tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) solar dan premium serta tarif listrik.
"Dampak terhadap ekonomi minim, tapi yang akan tertekan nanti di APBN-nya," tuturnya kepada detikFinance.
Dengan pelemahan nilai tukar Rupiah, maka subsidi yang harus disiapkan oleh pemerintah atas BBM bersubsidi tentunya akan membengkak. Apalagi proyeksi nilai tukar yang ditetapkan dalam APBN 2018 jauh lebih kecil dari kondisi saat ini.
Proyeksi nilai tukar APBN, Rp 13.400, sementara proyeksi semester II-2018 rata-rata Rp 14.200 per US$ maka sampai akhir tahun Rp 13.973 per US$
Sementara subsidi energi 2018 di APBN ditetapkan Rp 94,52 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan elpiji tabung 3 kg sebesar Rp 46,86 triliun, dan subsidi listrik Rp 47,66 triliun.
Realisasi semester I-2018 sebesar Rp 59,51 triliun atau sudah 63,0% dari pagu anggaran. Untuk subsidi BBM dan elpiji 3 kg realisasinya Rp 35,41 triliun atau 75%, sedangkan subsidi listrik Rp 24,09 triliun atau 50,6%.
Adapun proyeksi di semester II 2018 untuk subsidi BBM dan elpiji 3 kg adalah sebesar Rp 68,08 triliun, dan subsidi listrik sebesar Rp 35,89 triliun. Dengan demikian, total subsidi energi di semester II bakal naik menjadi Rp 103,98 triliun atau 110% terhadap APBN.
Sehingga selama 2018, subsidi energi jumlahnya membengkak menjadi Rp 163,49 triliun atau 173,0% dari APBN. Rinciannya untuk subsidi BBM dan elpiji menjadi Rp 103,48 triliun atau 220,8% dari APBN, sedangkan subsidi listrik menjadi Rp 59,99 triliun atau 125,9%.
Namun menurut Piter, kebijakan menahan harga BBM dan listrik akan berdampak positif untuk menahan laju inflasi. Sebab dengan melemahnya nilai tukar ada potensi untuk meningkatnya inflasi tahun ini.
"Jadi yang masalah ini akan berdampak pada inflasi. Ada barang yang nanti akan mendorong harga di dalam negeri yang dan akan terkena pada daya beli masyarakat bawah. Tapi itu sangat minim. Pemerintah kan sudah katakan tidak akan menaikan harga minyak," terangnya.