'Angin Surga' Rupiah di Awal Tahun

'Angin Surga' Rupiah di Awal Tahun

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 08 Jan 2019 08:05 WIB
Angin Surga Rupiah di Awal Tahun
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Awal pekan Januari 2019, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bak mendapat 'angin surga' usai mengalami penguatan. Bahkan, pada Senin nilai dolar sempat lengser dari posisi Rp 14.000.

Pada perdagangan Reuters, nilai dolar AS sempat tercatat di angka Rp 13.990. Meski memang saat penutupan kembali ke Rp 14.000an.

Penyebabnya apa ya? Berikut berita selengkapnya:

Perang Dagang Mereda

Foto: Rachman Haryanto
Bank Indonesia (BI) menyebut sentimen positif dari kesepakatan perang dagang, perubahan sikap the Fed, dan berbagai perkembangan data ekonomi tersebut mendorong terjadinya pelemahan nilai tukar US$ secara broadbase, penguatan index saham global dan kenaikan yield US Treasury.

Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menyebut pelemahan dolar AS juga terjadi terhadap rupiah. Sehingga terjadi penguatan penguatan sekitar 1,33% atau Rp 190.

Dia menyebutkan sebelumnya The Fed tegas akan menaikkan suku bunga sebanyak dua kali pada 2019 setelah jatuhnya harga saham di AS.

"Kali ini The Fed menyiratkan lebih fleksibel dan akan menunggu perkembangan data ekonomi ke depan," kata Nanang saat dihubungi, Senin (7/1/2019).

Lalu, The Fed juga siap melakukan perubahan dalam kebijakan bunga serta mulai melunak atas rencana proses penarikan likuiditas dari sistem keuangan atas rencana proses penarikan likuiditas dari sistem keuangan.

Sebagaimana diketahui, sebagai bagian dari proses normalisasi kebijakan moneter pasca krisis 2018, sejak Desember 2017 the Fed dalam proses melepaskan kembali surat surat berharga yang diterbitkan swasta, dibeli the Fed untuk mengtasi krisis keuangan 2008/2009.

Artinya tengah terjadi penarikan likuiditas dari sistem keuangan. Surat berharga milik swasta yang ada pada neraca the Fed sampai saat ini baru turun ke US$ 3,86 triliun per Januari 2018, dari US$ 4,2 triliun yang bertahan sejak Januari 2014. Bila penarikan lkuiditas dari sistem keuangan dilakukam terlalu cepat maka dapat menimbulkan keketatan dolar AS di seluruh dunia.

Meski kondisi ekonomi AS semakin solid, namun diperkirakan tidak akan tetap kuat menahan pelemahan ekonomi global bila ekonomi Eropa, Jepang, dan China semakin kehilangan tenaga.

Memang data ekonomi AS terakhir masih menunjukkan kondisi yang solid. Data Change in Nonfarm Payrolls bulan Desember 2018 meningkat melebihi ekspektasi pasar ke level 312K (est. 184K) dari bulan sebelumnya yang direvisi naik ke level 176K (prior 155K) atau peningkatan ke level tertinggi dalam 10 bulan terakhir.

Menurut Nanang, sektor industrinya mulai melemah, terindikasi dari penurunan indek Purchasing Manager Index (PMI) dan ISM (Institute of Supply Management). Bahkan berbagai indikator manufaktur di Eropa dan China semakin menunjukkan kemerosotan sebagai indikasi perang dagang mulai menimbulkan efek negatif.

Dia menambahkan BI tetap memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat, dan mengawal penguatan tersebut termasuk dengan membuka lelang domestic non deliverable forward (DNDF) pada pukul 8.30 dan dilanjutkan dengan intervensi bilateral melalui 8 broker secara "firm" meningkatnya aktivitas BI di pasar DNDF, selain untuk memastikan kurs offshore NDF terkendali, juga sebagai dukungan penunjuk bagi berkembangnya pasar DNDF agar lebin likuid dan efisien.

"Sudah terdapat 13 bank yang aktif di pasar interbank DNDF, sejumlah investor asing bertransaksi untuk hedging investasi di saham, dan sejumlah korporasi termasuk satu BUMN sudah melakukan transaksi," imbuh Nanang.

Selain dalam dollar USD/IDR, transaksi DNDF nasabah juga sudah ada yang melakukan dalam YEN/IDR dan Euro/IDT. "Bila transaksi DNDF ini terus berkembang dan banyak digunakan untuk hedging makan akan membantu men "smoothing" pembelian valas di dalam negeri, sehingga rupiah bisa lebih stabil," jelasnya.

Perkasa Lawan Mata Uang Lain

Foto: Rachman Haryanto
Tak hanya terhadap dolar AS, mengutip data RTI rupiah juga tercatat menguat dengan mata uang lain. Misalnya harga 1 British pound tercatat Rp 17.945 menguat 226 poin dibanding sebelumnya Rp 18.171.

Kemudian untuk euro Rp 16.074 menguat 197 poin dibanding sebelumnya Rp 16.074.

Swiss franc tercatat Rp 14.302 menguat 168 poin dibanding sebelumnya Rp 14.470.

Satu dolar AS tercatat Rp 14.083 menguat 187 poin dibandingkan sebelumnya Rp 14.270.

Dolar Canada tercatat Rp 10.540 menguat 114 poin dibandingkan sebelumnya Rp 10.654.

Dolar Singapura tercatat Rp 10.377 menguat 125 poin dibandingkan sebelumnya 10.502.

Dolar Australia tercatat Rp 10.036 menguat 117 poin dibandingkan sebelumnya Rp 10.153.

Dolar New Zealand Rp 9.502 menguat 107 poin dibandingkan harga sebelumnya Rp 9.609.

Kemudian riyal Arab Saudi tercatat Rp 3.804 menguat 1 poin dibandingkan sebelumnya Rp 3.805.

Selanjutnya ringgit Malaysia tercatat Rp 3.418 menguat 34 poin dari sebelumnya Rp 3.452.

Untuk yuan China tercatat Rp 2.055 menguat 18 poin dibandingkan sebelumnya Rp 2.073.

Lalu dolar Hong Kong tercatat Rp 1.797 menguat 24 poin dari sebelumnya Rp 1.821.

Dolar Taiwan tercatat Rp 457 menguat 5 poin dari sebelumnya Rp 462.

Thailand baht Rp 440 menguat 5 poin dibandingkan sebelumnya Rp 444.

Lalu peso Filipina Rp 269 menguat 3 poin dibandingkan sebelumnya Rp 272.

Kemudian rupee India tercatat Rp 202 menguat 3 poin dibanding sebelumnya Rp 205.

Selanjutnya Yen Jepang Rp 130 menguat 1 poin dibandingkan sebelumnya Rp 132.

Terakhir won Korea tercatat Rp 13 cenderung stagnan dibandingkan sebelumnya Rp 13.


Rp 13.000an Idaman Pengusaha

Foto: Muhammad Ridho
Menguatnya rupiah disambut baik pengusaha. Ke depan stabilitas nilai tukar rupiah diharapkan bisa terus dijaga meski ketidakpastian masih menjadi tantangan yang membuat hal tersebut masih menjadi tanda tanya.

"Buat kita yang penting naik turunnya. Yang jadi masalah kan karena kita banyak impor dan ekspor," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta Widjaya Kamdani saat ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (7/1/2019).

Shinta bilang, stabilitas nilai tukar yang diharapkan berada di level Rp 13.000-an/US$. Shinta berharap nilai tukar ke depan bisa lebih stabil alias tak terus turun naik dalam waktu yang tidak tetap. Lebih lanjut, dolar AS juga diharapkan tak turun terlalu dalam karena akan mempengaruhi ekspor.

"Kalau kita bisa stabil di 13.000-an saja, itu sudah bagus. Asal kita bisa stabil di satu titik, di 13.000 juga bisa banyak membantu kita," katanya.

Shinta mengapresiasi membaiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, namun stabilitas nilai tukar jauh lebih penting dibanding sekedar menyentuh Rp 13.000-an.

"Sebenarnya yang kita lihat volatilitasnya yang naik turun. Ketidakpastian sampai tahun ini pasti akan tetap terjadi karena Presiden AS Donald Trump policy-nya masih belum jelas. Ini tentu saja membuat nilai tukar tidak bisa stabil atau tetap volatile," katanya.

Shinta bilang nilai tukar yang naik turun dalam waktu singkat membuat pengusaha sulit mengambil keputusan. Solusi jangka pendek pun diambil dengan mulai mengurangi ketergantungan mata uang Paman Sam, dimulai dari perdagangan ekspor dan impor.

Bilateral currency swap agreement (BCSA) akan terus diperluas dengan bank sentral negara lain untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dalam aktivitas perdagangan dan keuangan.

"Karena sekarang ini di Indonesia sendiri ketergantungan kita besar terhadap US$ sementara fed rate naik terus. Dari pada kita berpatok pada ketidakpastian itu sendiri, kita punya solusi seperti penggunaan mata uang asing lainnya dalam bertransaksi secara bilateral," katanya.

Halaman 2 dari 4
(kil/ang)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads