3 Fakta soal Investor Newbie yang Kelabakan Beli Saham Pakai Utang

3 Fakta soal Investor Newbie yang Kelabakan Beli Saham Pakai Utang

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 18 Jan 2021 18:00 WIB
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Saham melanjutkan penguatan kemarin dan semakin mendekati rekor tertingginya sepanjang masa, pasca hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Pilpres
Ilustrasi/Foto: Rengga Sancaya
Jakarta -

Geliat investasi saham di pasar modal semakin meningkat. Terbukti dari jumlah investor yang meningkat 56% di 2020.

Namun euforia investasi saham mulai menimbulkan efek samping. Banyak investor newbie yang mengeluhkan nyangkut di saham-saham tertentu. Bahayanya lagi mereka membeli saham itu dengan uang panas. Berikut 3 fakta menariknya.

1. Pakai Utang Pinjol Sampai Uang Arisan

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Minat masyarakat Indonesia terhadap investasi di pasar modal semakin tinggi. Terbukti dari jumlah investor pasar modal yang meningkat 56% di sepanjang 2020 menjadi 3,87 juta.

Menariknya lagi penambahan jumlah investor ritel di pasar modal Indonesia itu didominasi oleh kalangan milenial. Namun sayangnya penambahan jumlah investor itu sepertinya tidak dibarengi dengan edukasi yang mumpuni.

ADVERTISEMENT

Muncul juga fenomena investor yang membeli saham menggunakan uang panas. Mulai dari utang pinjaman online, menggunakan uang titipan arisan ibu-ibu PKK hingga nekat menggadaikan surat tanah dan BPKB.

Pemerhati dan Praktisi Pasar Saham, Desmond Wira salah satu yang mengunggah fenomena itu di media sosial. Menurutnya fenomena itu muncul juga karena pandemi COVID-19.

"Fenomena seperti ini sering terjadi, dulu juga sering. Namun perbedaannya sekarang investor banyak dimudahkan oleh teknologi. Pinjam duit bisa online. Gadai juga bisa online. Buka rekening saham bisa online. Kebetulan saat pandemi banyak orang yang tinggal di rumah, berusaha mencari penghasilan tambahan," ucapnya kepada detikcom, Minggu (17/1/2021).

Sementara Founder WH Project, William Hartanto menyebut hal itu sebagai fenomena lupa diri. Bukan hanya uang dari hasil utang, dia juga sering mendapatkan keluhan investor yang membeli saham menggunakan uang modal nikah.

"Ini fenomena lupa diri. Saya sudah sering ketemu kasus begini, ada yang uang modal nikah pun ditaruh di saham berakhir rugi," tuturnya.

Padahal dengan menggunakan utang pinjol untuk membeli saham sama saja menambah dua kali lipat risiko investasi. Sebab bagaimanapun saham merupakan instrumen investasi yang memiliki risiko tinggi, sementara utang pinjol juga mengandung risiko dari sisi bunga yang mencekik.

2. Terpengaruh Influencer

Desmond menilai para influencer yang ramai memamerkan portofolionya juga turut berkontribusi menimbulkan fenomena beli saham pakai uang panas. Akhirnya banyak investor baru yang menilai investasi di pasar modal merupakan hal yang mudah.

"Kebetulan setelah anjlok dalam saat pandemi, lalu rebound tajam. Ini sangat menarik terutama orang awam. Easy money dianggapnya. Saat rebound kan pasar saham relatif tidak ada koreksi. Apalagi sekarang banyak influencer saham di sosial media, mulai dari FB, IG, twitter, tiktok. Semakin ramailah yang ikut ke pasar saham," tuturnya.

Menurut Desmond, fenomena ini juga menjadi bukti minimnya edukasi terhadap investor-investor dadakan. Padahal edukasi sangat penting sebelum terjun di instrumen investasi yang memiliki risiko tinggi itu.

"Rata-rata yang investor muda yang baru terjun memang kurang teredukasi. Hal ini dapat dimaklumi karena investor dadakan, ya mungkin saja belum sempat belajar tapi sudah kepingin profit besar. Walaupun sebenarnya kalau mau belajar banyak materi belajar yang tersedia di internet, gratis pula," terangnya.

Banyak investor pemula yang justru menilai pasar saham merupakan jalan pintas untuk menambah hartanya. Apalagi memang beberapa bulan terakhir pasar modal Indonesia tengah rebound setelah anjlok di awal pandemi.

"Kebanyakan memang ingin dapat profit besar secara instan. Banyak pula yang berpikir jual beli di pasar saham itu mudah, kebetulan kan pasar saham beberapa bulan terakhir naik terus. Banyak pula influencer, banyak yang pamer profit. Itu yang mengakibatkan banyak orang nekat membeli saham di harga tinggi, kalau perlu pakai uang panas," tuturnya.

3. Mangsa Empuk Bandit Predator

Praktisi dan Inspirator Investasi sekaligus penulis buku Bandarmology, Ryan Filbert mengingatkan bahwa di pasar saham ada yang namanya bandar. Bandar sendiri sebenarnya dibutuhkan dalam sebuah saham agar membuat saham itu tetap sehat. Namun terkadang bandar ini berubah wujud menjadi bandit.

"Bandar itu belum tentu bandit. Bandit itu ya kalau dia bilang jual ternyata dia malah beli, atau dia bilang beli ternyata dia malah jual," terangnya kepada detikcom, Senin (18/1/2021).

Bagi bandit untuk menggerakkan sebuah saham sangat mudah. Ryan menjelaskan ada 3 unsur yang dibutuhkan untuk menggerakkan saham, pertama harus memiliki uang dalam jumlah yang sangat banyak.

Uang itu tentu untuk membeli saham tersebut. Contoh sebuah saham rata-rata nilai transaksi nya Rp 100 miliar per hari. Jika ada sosok yang memiliki uang Rp 300 miliar maka dia bisa mengatur pergerakan saham itu selama 3 hari.

Kedua, memegang saham dalam jumlah yang sangat banyak, apalagi jika menjadi pengendali. Ketiga memiliki massa yang sangat banyak, dalam artian bisa memberikan pengaruh kepada investor dalam jumlah yang besar.

"Jika memiliki 1 saja dari 3 hal itu sudah bisa menggerakkan saham, apalagi jika punya 3 hal itu," tambah Ryan.

Untuk urusan massa, jika si bandit tak punya hal itu bisa saja dia membayar orang yang memiliki pengaruh yang luas di media sosial seperti influencer.

Si bandit seperti memasang jebakan, ketika massa influencer itu terpengaruh dan membeli saham yang dimaksud si bandit tinggal melepas saham sesuai harga yang dia inginkan.

Maka dengan semakin bertambahnya investor newbie sama saja menambah mangsa bagi para bandit ini.

"Banditnya ini nggak tambah banyak, ini bandit lama yang dapat korban baru saja. Tapi itu menurut saya loh ya. Banyak newbie yang masuk berarti mangsanya dia bertambah," tutupnya.


Hide Ads