Kasus dugaan korupsi yang terjadi di PT Asabri dan PT BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) terus menjadi perhatian para investor di pasar modal. Pasalnya, kedua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi tersebut disebut mengalami kerugian besar akibat investasinya di pasar modal. Kejaksaan Agung yang menangani kedua kasus itu menaksir Asabri merugi hingga Rp23 triliun dan BP Jamsostek juga rugi sekitar Rp20 triliun.
Namun kerugian yang dialami kedua BUMN tersebut sebagian dinilai baru sebatas potensi atau unrealized loss. Hal ini khususnya terjadi pada aset-aset investasi Asabri dan BPJS yang belum dilakukan penjualan sehingga potensi kerugiannya belum terealisasi.
Contohnya investasi yang dilakukan Asabri dan BP Jamsostek melalui reksa dana yang dikelola oleh perusahaan Manajer Investasi (MI) dan di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Potensi kerugian ini terjadi akibat nilai investasi yang menjadi underlying reksa dana menurun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan, unrealized loss bisa terjadi pada setiap investor. Pengelola dana atau manajer investasi top sekali pun tidak bisa menjamin keuntungan karena pergerakan harga saham tergantung pasar.
Tidak ada jaminan juga bahwa saham-saham dengan fundamental baik, seperti yang masuk LQ 45, dapat terbebas dari risiko penurunan harga. Begitu pun dengan saham-saham yang berkapitalisasi menengah atau kecil sekalipun.
"Hedge fund profesional tidak ada yang tidak pernah mengalami unrealized loss. Sebagian besar akan mengalaminya ketika market sedang bearish," ujar Budi, akhir pekan kemarin.
Dalam investasi saham maupun reksadana saham, Budi menambahkan, unrealized loss merupakan hal yang biasa. Saham merupakan instrumen investasi yang dapat memberikan return yang tinggi, namun risikonya juga lebih tinggi dibandingkan instrumen lainnya di pasar modal.
Dalam akuntansi, Budi mengatakan, unrealized loss biasanya tidak dicatatkan dalam laporan laba rugi namun masuk ke comprehensive income. Sebab, aset saham biasanya masuk ke akun available for sell saat dibeli.
Nah, apakah penurunan nilai saham tersebut benar-benar menjadi kerugian atau tidak akan bergantung pada saat penjualan aset tersebut dilakukan. Jika saham yang nilainya turun kemudian dijual pada posisi rugi, tentu kerugian akan menjadi teralisasi. Sebaliknya selama saham tersebut tidak dijual, maka tidak akan terjadi kerugian alias hanya unrealized loss.
Kondisi unrealized loss sebetulnya juga bisa berubah seiring perubahan kondisi di pasar modal. Saat harga saham kembali naik sehingga nilai aset meningkat, unrealized loss akan berubah unrealized gain.
"Unrealized loss bisa berbalik menjadi unrealized gain saat pasar saham membaik. Perubahan dari unrealized loss ke unrealized gain ini bergantung kondisi pasar dan juga saham yang dimiliki investor," ujarnya.
Pengamat hukum pasar modal Indra Safitri sebelumnya mengatakan, kerugian investasi merupakan salah satu risiko pasar yang dihadapi oleh investor. Namun, unrealized loss merupakan kerugian secara buku, bukan faktual. Sehingga harus dibuktikan dulu secara hukum, apakah perbuatan melawan hukum yang menjadi sebab kerugian investasi dengan menggunakan pranata hukum pasar modal.
"Jika potensi kerugian yang belum dibukukan masuk ranah merugikan negara, maka hal ini akan menakutkan bagi semua pihak yang mengurus investasi. Kerugian akibat risiko bisnis semata tentu tidak masuk ranah pidana," kata Indra dalam sebuah webinar, Selasa (23/2)
(upl/upl)