2.014 Pengusaha Tinggalkan Dolar AS, Kini Transaksi Pakai Mata Uang Lokal

2.014 Pengusaha Tinggalkan Dolar AS, Kini Transaksi Pakai Mata Uang Lokal

Anisa Indraini - detikFinance
Selasa, 25 Jul 2023 16:54 WIB
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah kembali naik tinggi, mendekati Rp 15.300. Per siang ini pukul 14.45 WIB, dolar AS tercatat tembus ke level Rp 15.265.
Dolar AS/Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Bank Indonesia (BI) menyatakan semakin banyak eksportir dan importir yang tidak lagi menggunakan dolar Amerika Serikat (AS) untuk transaksi perdagangan internasional. Sebagai gantinya para pengusaha memanfaatkan kerja sama local currency transaction (LCT) yang sudah berjalan di empat negara.

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan fasilitas LCT sudah dimanfaatkan oleh 2.014 pengusaha per Juni 2023, baik usaha kecil hingga besar. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan tahun lalu yang mencapai 1.741 pengusaha.

"Kami optimis jumlah ini akan terus bertambah karena sosialisasi makin baik dan intens. Apalagi dengan Korea ini belum mulai," kata Destry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), Selasa (25/7/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejauh ini kerja sama LCT sudah berjalan dengan China, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Melalui fasilitas ini, dunia usaha di Indonesia dan empat negara itu bisa bertransaksi menggunakan mata uang lokal masing-masing negara secara langsung, tanpa harus pakai mata uang utama seperti dolar AS.

Dalam waktu dekat kerja sama LCT juga akan berlaku antara Indonesia dan Korea Selatan (Korsel). "Kemarin baru tanda tangan bank central-nya dengan kita, tinggal sekarang bagaimana implementasinya, penunjukan bank ACCD-nya dan untuk sosialisasi kepada para pelaku," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Nilai perdagangan LCT sepanjang semester I-2023 mencapai US$ 3,2 miliar. Nilai itu hampir mencapai realisasi setahun penuh pada 2022 yang sebesar US$ 4,1 miliar.

Dari nilai transaksi tersebut, mayoritas berasal dari perdagangan Indonesia dan Malaysia US$ 1,2 miliar atau 38%. Sisanya disusul Jepang 23%, Thailand 20%, dan sisanya China.

"Biasanya itu dua tahun kemarin kalau nggak Tiongkok, Jepang. Tapi kali ini yang mendominasi adalah Malaysia. Terakhir justru China karena ekonomi China juga memang sedang mengalami pelemahan," pungkasnya.




(aid/ara)

Hide Ads