Investasi di pasar saham memang berisiko besar, salah-salah pilih saham bisa membuat kerugian besar. Selama setahun ini misalnya, ada sekitar 8 saham di bursa Wall Street Amerika Serikat (AS) yang mengalami pengurangan nilai besar.
Melansir Investors Business Daily, Rabu (27/12/2023), investor kehilangan US$ 462 miliar karena hanya memegang delapan saham yang mengalami penurunan nilai pasar terbesar tahun ini. Nilai yang hilang itu, bila dikonversi dengan kurs Rupiah terkini jumlahnya bisa mencapai Rp 7.137 triliun (kurs Rp 15.450).
Saham-saham yang nilainya jeblok itu termasuk pembuat vaksin Pfizer dengan kode saham PFE, raksasa minyak Chevron dengan kode sahan SVX, hingga produsen obat Johnson & Johnson dengan kode saham JNJ.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada juga perusahaan energi NextEra Energy dengan kode saham NEE, lalu perusahaan farmasi Bristol-Myers Squibb
dengan kode saham BMY, dan perusahaan produk kecantikan Estee Lauder dengan kode sahan EL.
Dua lainnya adalah perusahaan farmasi Moderna berkode saham MRNA dan juga raksasa minyak gas ExxonMobil dengan kode saham XOM. Padahal, delapan saham ini masuk ke dalam indeks saham jempolan S&P 500.
Masing-masing saham tersebut nilainya sudah anjlok lebih dari US$ 30 miliar atau sekitar Rp 463 triliun pada tahun ini, lebih banyak dibandingkan saham lainnya di S&P 500.
Faktanya, indeks S&P 500 sebetulnya mengalami tahun yang baik selama 2023. Indeks S&P 500 sendiri melonjak hampir 24%, lebih dari dua kali lipat pengembalian tahunan rata-rata indeks.
Bila delapan saham tadi babak belur, beberapa keuntungan besar masih didapatkan dari saham S&P 500, misalnya dua raksasa Microsoft dan Apple masing-masing menambah nilai pasar hampir US$ 1 triliun hanya dalam satu tahun.
Farmasi dan Energi Babak Belur
Dari daftar delapan saham S&P 500 yang babak belur, ada dua perusahaan farmasi yang masuk daftar, Pfizer dan Moderna. Keduanya, pernah berjaya saat pandemi COVID-19 merebak.
Pfizer membantu dunia untuk menggunakan vaksin COVID-19, namun kini menderita. Perusahaan nampaknya terlalu melebih-lebihkan betapa menguntungkannya vaksin dan pengobatan COVID-19 lainnya setelah pandemi mereda. Saham perusahaan turun hampir 45% tahun ini.
'Mabuk vaksin' juga mempengaruhi Moderna, saham perusahaan yang ikut membesut vaksin seperti Pfizer itu turun 47% tahun ini. Sama seperti Pfizer, Moderna sempat meroket sahamnya saat pandemi COVID-19 menghantam dunia.
Tahun ini sendiri selera investor sedang tinggi untuk saham-saham teknologi berkapitalisasi besar. Investor pun nampaknya tidak terlalui ingin banyak berhubungan dengan saham energi.
Apalagi saat ini, harga satu barel minyak merosot lebih dari 27% dari harga tertinggi dalam 52 minggu. Kurangnya kekuatan harga komoditas menyebabkan saham-saham produsen minyak juga terpuruk.
Saham Chevron merosot lebih dari 15% tahun ini. Saingan utama Chevron, Exxon Mobil, juga mengalami penurunan saham sebesar 7,6% tahun ini.