Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melesu, jumlahnya saat ini menembus angka Rp 16.400. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, mengatakan dua biang keroknya adalah konflik geopolitik dan kebijakan suku bunga The Fed. Sebenarnya seberapa besar pengaruh kedua hal tersebut?
Kepada detikcom, dua pengamat keuangan membenarkan keterangan Perry. Mereka menjelaskan The Fed dan konflik geopolitik adalah dua aspek eksternal yang sangat mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, mengatakan bahwa konflik geopolitik, khususnya yang terjadi di Timur Tengah berpotensi membuat menyebabkan ketidakseimbangan antara jumlah produksi dan minyak mentah dunia. Naiknya harga minyak mentah dunia bisa membuat perekonomian dunia bergejolak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian dari sisi logistik, konflik di wilayah itu membuat kapal-kapal komersil diserang di Laut Merah. Sehingga banyak yang harus berputar ke Afrika, ini membuat ongkos logistik tinggi, membuat produksi naik, dan berdampak terhadap inflasi tinggi. Inflasi tinggi ini yang membuat indeks dolar mengalami penguatan," kata Ibrahim, Kamis (20/6/2024).
Adapun soal suku bunga The Fed, Ibrahim menjelaskan bahwa nilai tukar rupiah keok karena mata uang 'Negeri Paman Sam' itu adalah mata uang terkuat di dunia. Nyaris semua transaksi ekonomi di dunia menggunakan dolar AS, mulai dari perdagangan komoditas sampai pasar saham.
Oleh karena itu, menguatnya suku bunga The Fed akan membuat mayoritas investor global ramai-ramai menaruh uangnya di perbankan AS untuk mendulang. Hal ini pun berpengaruh terhadap minimnya arus investasi yang masuk ke Indonesia. The Fed sendiri bertujuan menaikkan suku bunga untuk menjaga fundamental ekonomi Amerika Serikat.
"The Fed suku bunganya dulu sampai 0,25% sekarang di atas 5%, artinya modal asing pasti balik ke Amerika. Kalau bank sentral menaikkan suku bunga masyarakat pasti akan menabung, akan menaruh uang di bank, sama di Indonesia. Kalau suku bunga dinaikkan BI, bank swasta maupun plat merah pasti kebanjiran deposito, jelasnya.
Senada, Pengamat pasar uang Ariston Tjendra, mengatakan bahwa nilai tukar rupiah saat ini sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kebijakan The Fed dan kondisi geopolitik. Menurutnya, posisi Indonesia sebagai negara yang ekonominya sedang berkembang sangat rentan terhadap dolar AS.
"Posisi Indonesia sebagai negara emerging itu dianggap mempunyai tingkat risiko yang tinggi yang membuat nilai tukar rupiah rentan terhadap dolar AS," imbuhnya.
Di sisi lain, di tengah konflik geopolitik global, Ariston mengatakan bahwa para pelaku pasar akan berbondong-bondong membeli aset safe haven. Keduanya adalah dolar AS dan emas.
(das/das)