Saking likuidnya, sahamnya BUMI selalu bergerak dalam rentang yang lebar. Sejak IPO di tahun 1990 lalu di harga 4.500 per lembar, sahamnya sempat naik-turun dan sampai di posisi tertingginya sepanjang masa di Rp 8.750 selembar.
Posisi intraday tertingginya itu diraih pada 10 Juni 2008. Pada penutupan perdagangan hari yang sama saham perusahaan tambang itu ditutup di Rp 8.150 per lembar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bakrie 7 selain BUMI antara lain, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Bakrieland Development Tbk (ELTY), PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP), PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT Darma Henwa (DEWA), dan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL).
Saham-saham ini sempat menguasai pasar modal sebelum krisis ekonomi, namun belakangan ini kinerja keuangan mereka melempem dan berujung pada koreksi tajam.
Beberapa di antaranya bahkan sudah ada yang jadi saham 'gocap' alias nilainya Rp 50 selembar, posisi harga saham terendah di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pada penutupan perdagangan hari ini, Rabu (3/12/2014), saham BUMI berakhir di level Rp 81 per lembar, anjlok 5,81% dibandingkan posisi kemarin di Rp 86 per lembar.
Jarak antara harga intraday tertinggi di Rp 8.750 dan harga hari ini Rp 81 selembar sangat jauh. Ada koreksi hingga 99% dari titik tertingginya itu.
Tren melemah sudah menempel di saham BUMI sejak krisis 2008. Selain itu kisruh dengan Nathaniel Rothschild di Bumi PLC (sekarang Asia Resource Minerals PLC) dan utangnya yang fantastis sebesar Rp 44 triliun juga jadi sentimen negatif.
Hari ini, kabar buruk kembali hinggap di tubuh BUMI. Standard & Poor's (S&P) menurunkan peringkat utang BUMI menjadi default (D) dari sebelumnya selective default (SD).
Lembaga pemeringkat internasional itu memprediksi BUMI itu tidak akan menyelesaikan utang-utangnya setidaknya dalam enam bulan ke depan.
(ang/dnl)