Pengalamannya ini diharapkan dapat membantu pimpinan perusahaan-perusahaan pembiayaan yang kini bisnisnya sedang lesu akibat perlambatan ekonomi dunia.
Emir menceritakan, dirinya mulai menjabat sebagai Dirut Garuda pada tahun 2005 ketika maskapai tersebut belum sebesar sekarang. Reputasi Garuda waktu itu sangat jauh berbeda dari sekarang. Kondisi Garuda di tahun 2005 sangat buruk, di ambang kebangkrutan. Kerugiannya mencapai Rp 5 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Emir, suasana kerja di Garuda saat itu suram, tidak ada semangat di antara para karyawan. Ditambah lagi arus kas Garuda negatif, utangnya menggunung, pelayanannya buruk, operasi perusahaan tidak efektif dan efisien.
"Di manajemen kita lihat ini tipikal BUMN yang tidak profit oriented, produktivitas pegawainya juga rendah. Dari sudut keuangan cash flow negatif, utang US$ 1,8 miliar. Dalam sudut operasional telat terus karena pegawai-pegawainya tidak semangat untuk melayani penumpang. Pesawatnya kebanyakan, utilisasinya rendah. Waktu itu sudah dibuat Citilink tapi nggak jelas mau jadi LCC atau full service carrier," tuturnya.
Melihat kondisi Garuda yang di ambang kematian tersebut, hal pertama yang dilakukan Emir untuk membangkitkan Garuda dan membawanya terbang tinggi adalah membangun tim, mengharmoniskan hubungan antara para pimpinan dan karyawan dengan komunikasi yang baik.
"Ada distrust antara pegawai dengan manajemen. Hal pertama yang kita harus lakukan adalah break the silence. Kita nggak bisa blaming, apa yang terjadi di Garuda adalah salah kita semua. Kita harus komunikasi," ucapnya.
Dirinya pun berupaya melakukan komunikasi kepada seluruh jajaran karyawan Garuda dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang terpenting adalah pesan dari pimpinan bisa tersampaikan dengan baik hingga ke tingkat paling bawah. Optimisme mulai dibangun dari komunikasi ini.
"Biasanya di perusahaan-perusahaan besar apa yang dikatakan CEO nggak sampai ke staf-staf di lapangan, maka kita harus komunikasi. Kita komunikasi lewat berbagai cara, misalnya ke media massa, karyawan kita kan juga baca. Corporate culture kita luncurkan. Kalau kita punya bahasa dan pengertian yang sama, apa yang kita inginkan semua bisa berjalan dengan baik," paparnya.
Salah satu cara Emir membangun corporate culture adalah dengan mencuci pesawat-pesawat milik Garuda bersama dengan karyawan.
"Kita ini dulu pesawatnya tua-tua, waktu masa survive belum bisa beli pesawat baru. Yang kita lakukan adalah kita bawa karyawan-karyawan kita menghargai aset kita. Kita cuci pesawat sama-sama. Direksi, VP, semua kita ke Surabaya kita cuci pesawat ramai-ramai. Terus terang nyuci lavatory nggak gampang, salah sedikit bisa rusak," tukas dia.
Selain itu, Emir juga memanfaatkan hobinya bersepeda untuk menjalin kekompakan dengan para karyawan-karyawannya. Dari kedekatannya dengan para karyawan ini, Emir mendapatkan banyak informasi terkait masalah-masalah yang ada di lapangan.
"Saya suka naik sepeda, kita buat Garuda Group Cycling. Kita naik sepeda sama-sama. Ini bagus untuk kita sebagai CEO mengetahui apa yang terjadi di lapangan," ungkapnya.
Setelah membangun tim, Emir mulai melakukan redefinisi road map Garuda, menetapkan komitmen baru, dan sebagainya. Salah satu keputusan bisnis terpenting yang dibuatnya adalah fokus bisnis Garuda di Full Service Carrier di tengah kemunculan maskapai-maskapai baru yang berani banting harga.
"Kita tidak berkompetisi di harga, tapi di pelayanan dan komitmen. We not compete in pricing," tegas Emir.
Perbaikan-perbaikan pun dilakukan untuk meningkatkan pelayanan Garuda sebagai Full Service Carrier. Ketika maskapai-maskapai lain memotong berbagai pengeluaran untuk efisiensi, Garuda tidak melakukannya. Yang dilakukan Garuda, kata Emir, bukan cost cutting melainkan cost effectiveness. Pihaknya tak mau mengorbankan pelayanan.
Startegi pemasaran diperbarui untuk menyesuaikan diri dengan situasi, sebab persaingan di bisnis penerbangan makin ketat dengan munculnya Lion Air, Sriwijaya Air, Batavia Air, dan sebagainya.
"Kita pakai strategi marketing baru. Sudah banyak saingan waktu itu. Kita selalu percaya pada cost effectiveness, bukan cost cutting," cetus Emir.
Di 2 tahun pertama kepemimpinannya, Garuda berhasil melalui masa survival, lalu memasuki masa titik balik di 2 tahun berikutnya, dan akhirnya bisa keluar dari krisis pada 2010. Semuanya berkat team work yang baik, kepemimpinan yang bagus di semua level.
"Ini butuh leader, bukan hanya direksi. Waktu itu kita rutin setiap kuartal keliling ke cabang-cabang. Semuanya team work, ini dieksekusi oleh semua leader di semua level. Kita semua harus bawa Garuda keluar dari krisis bersama-sama," kata Emir.
Hasilnya, pendapatan Garuda tumbuh signifikan, tidak lagi rugi tapi untung. Peringkat Garuda naik signifikan, reputasinya berubah total, Garuda tak lagi identik dengan delay. Penghargaan-penghargaan membanjiri Garuda.
Berkat perbaikan-perbaikan ini, Emir berhasil membawa Garuda yang tadinya nyaris bangkrut menjadi salah satu maskapai terbaik di dunia, bukan hanya di Indonesia.
"Kita masuk 10 besar airlines terbaik di dunia. 2005 kita dilarang masuk Eropa karena masalah safety, 2014 kita sudah terbang ke Eropa. Servis kita naik dari bintang 3 jadi bintang 5. Dulu nggak ada yang percaya Garuda bisa go public, sekarang ini Garuda sudah jadi listed company," pungkasnya.
(drk/drk)











































