Transisi Energi di RI Dinilai Belum Memuaskan

Transisi Energi di RI Dinilai Belum Memuaskan

Andi Hidayat - detikFinance
Kamis, 23 Jan 2025 15:16 WIB
Petugas melakukan pengecekan dan perawatan rutin panel surya di Merck, Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menilai pemerintahan saat ini belum berhasil mencapai satupun dari delapan poin yang direkomendasikan.

Adapun delapan poin rekomendasi tersebut memuat quick wins transisi energi yang telah disampaikan September 2024 lalu pada Tim Sukses (Timses) Prabowo-Gibran. Rekomendasi itu bertujuan untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif melalui percepatan transisi energi untuk mewujudkan ekonomi hijau.

Adapun hasil evaluasi yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan sebagai berikut;

Pertama, memastikan mekanisme pelibatan dan partisipasi bermakna dalam penyusunan dokumen kebijakan perencanaan strategis nasional dan dokumen turunannya. Evaluasi terhadap rekomendasi Quick Win pertama menunjukkan bahwa target belum tercapai dan belum ada langkah konkret untuk melibatkan masyarakat sipil secara bermakna dalam perencanaan strategis nasional.

"Selama 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, prinsip pelibatan bermakna dalam penyusunan kebijakan strategis, khususnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), belum diterapkan," tulis evaluasi 100 hari kerja Prabowo-Gibran Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan, Kamis (23/1/2025).

Dalam evaluasi tersebut, masyarakat sipil tidak mendapat akses informasi atau undangan formal terkait proses perencanaan, meskipun Permen PPN No.5/2023 mewajibkan pelibatan mereka.

Musrenbangnas pada 30 Desember 2024, yang seharusnya menjadi forum partisipasi, justru minim transparansi dan lebih berfokus pada kehadiran pejabat daerah, sementara keterlibatan masyarakat masih samar dan tidak terverifikasi.

Sementara dalam sektor energi, tidak ada tindak lanjut atau informasi perkembangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) dan RPP Kebijakan Energi Nasional. Hal ini dianggap memperkuat kesan pelibatan publik diabaikan dalam perumusan kebijakan selama 100 hari pertama pemerintahan.

Kedua, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan meminta pemerintah untuk tidak memprioritaskan energi baru seperti nuklir, hilirisasi batu bara, teknologi CCUS, dan gas sebagai energi transisi. Pada poin ini, pemerintah dianggap mundur lantaran menjadikan energi nuklir, hilirisasi batu bara, teknologi CCUS dan gas sebagai bagian dari langkah strategis.

Pemerintah Prabowo-Gibran dianggap semakin gencar mendorong pengembangan energi tersebut meskipun masyarakat sipil menuntut evaluasi kebijakan ini. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mendorong pengusaha batubara untuk terus berproduksi dan mendukung gasifikasi batubara menjadi DME sebagai substitusi impor LPG.

"Pemerintah juga meminta bank nasional membiayai proyek hilirisasi dan membentuk Satgas Hilirisasi untuk mempercepat investasi," tulis laporan tersebut.

Meski berisiko tinggi, pengembangan energi nuklir tetap menjadi fokus, dengan rencana pembangunan 5 GW PLTN hingga 2040, dan rencana 29 lokasi PLTN yang diusulkan Dewan Energi Nasional.

Sementara di sektor gas, pemerintah berupaya mencapai swasembada energi dengan eksplorasi intensif. Proyek CCUS juga dikabarkan mendapat dukungan besar, seperti investasi US$7 miliar dari British Petroleum untuk Proyek Tangguh Ubadari.

"Fokus pemerintah pada energi ini menunjukkan kemunduran, karena alih-alih mengevaluasi kebijakan, mereka justru memperkuat agenda yang bertentangan dengan tuntutan transisi energi yang berkelanjutan," bebernya.

Ketiga, menindaklanjuti revisi Perpres 112/2022 dengan merumuskan draf peta jalan pensiun dini termasuk safeguard. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menyatakan rekomendasi tersebut menunjukkan pencapaian lantaram rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap batu bara belum dikonkretkan.

"Sampai saat ini belum ada pembahasan mengenai safeguard, sementara peta jalan yang sudah dimandatkan sejak tahun 2022 juga masih stagnan," ungkapnya.

Selama 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, ketidakselarasan dalam pernyataan Menteri ESDM terkait target Nationally Determined Contribution (NDC) yang turun dari 23% menjadi 17-19% menimbulkan keraguan terhadap komitmen transisi energi.

Hal ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Prabowo yang berjanji memensiunkan seluruh PLTU fosil sebelum 2040. Evaluasi atas tindak lanjut Perpres 112/2022 menunjukkan stagnasi.

Alih-alih menekankan penghentian total (phase-out), pemerintah kini beralih ke pengurangan bertahap emisi karbon (phase-down), yang berpotensi melemahkan komitmen transisi energi. Prabowo didesak segera menerjemahkan komitmennya melalui penyusunan peta jalan pensiun dini PLTU yang berlandaskan safeguard.

Meski PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menjamin tidak ada tender baru untuk PLTU, tidak adanya kepastian pendanaan untuk penutupan dini PLTU menimbulkan kekhawatiran terhadap gangguan kepentingan bisnis dan politik.

Selain itu, diskusi mengenai safeguard sosial dan lingkungan dinilai masih belum optimal. Sementara dokumen strategis seperti Strategic Environmental and Social Assessment (SESA) dalam kerangka Energy Transition Mechanism (ETM) dianggap belum diintegrasikan ke dalam penyusunan peta jalan transisi.

Tanpa langkah tegas dan arah yang jelas, penyelarasan Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 berisiko terhambat oleh tarik-menarik kepentingan yang berlawanan dengan semangat transisi energi berkeadilan, memperbesar risiko sosial dan lingkungan yang seharusnya menjadi prioritas.

Keempat, insentif pembiayaan untuk pengalihan ke energi terbarukan serta pemberdayaan dan peningkatan akses UMKM dan koperasi agar mendukung transisi energi berkeadilan. Berdasarkan hasil evaluasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan, rekomendasi ini belum tercapai meskipun terdapat indikasi ada kemajuan menuju perubahan.

"Sudah ada langkah-langkah positif namun masih perlu dukungan dari sisi kebijakan dan peraturan pemerintah," jelasnya.

Insentif pembiayaan untuk mendukung transisi energi berkeadilan melalui pengalihan ke energi terbarukan dan pemberdayaan UMKM dan koperasi, belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam 100 hari terakhir, meski Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia telah menyatakan komitmennya mendukung UMKM dan koperasi dalam pelaksanaan transisi energi.

Namun begitu, langkah positif terlihat dengan pembentukan posisi baru sekaligus pelantikan Direktur Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup. Pelantikan pejabat baru di lingkungan kementerian ini menunjukkan keseriusan pemerintahan Prabowo untuk mengatasi kebuntuan operasionalisasi nilai ekonomi karbon (NEK).

Pada sisi lain, kriteria Taksonomi Hijau dari OJK yang belum ketat menimbulkan kekhawatiran akan risiko greenwashing, terutama di tengah sorotan organisasi masyarakat sipil. Selain itu, mekanisme insentif NEK yang masih belum transparan dan tanpa kejelasan setelah implementasinya dimundurkan dari rencana awal pada 2022.

Sama halnya dengan Perpres 112/2022, aturan pelaksana maupun peta jalan pajak karbon masih belum tersusun. Hal ini kian menegaskan pentingnya langkah konkret dan terarah dari Presiden Prabowo untuk memastikan kebijakan ini benar-benar mendukung transisi energi yang inklusif, berkeadilan, dan bebas dari manipulasi kepentingan.

Kelima, menjadikan analisa ESG sebagai persyaratan mendapatkan perizinan investasi. Evaluasi terhadap rekomendasi ini tidak menunjukkan perubahan konkret mengenai peningkatan implementasi analisa Environmental, Social, and Government (ESG).

Meskipun ada ajakan untuk lebih peduli ESG dari pemerintah, hingga saat ini tidak ditemukan adanya implementasi riil baik dalam bentuk perubahan peraturan ataupun sosialisasi dan pelatihan yang berarti.

Peningkatan perhatian global terhadap perubahan iklim telah mendorong transformasi investasi menuju prinsip keberlanjutan, dengan analisa ESG sebagai syarat utama bagi investor global untuk memastikan proyek yang berkelanjutan dan minim dampak negatif.

"Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan mendorong agar prinsip ESG menjadi persyaratan dalam perizinan investasi di awal pemerintahan Prabowo," terangnya.

Integrasi ESG dianggap krusial untuk mendukung Asta Cita ke-5 dan Program Prioritas ke-15. Selain itu, prinsip ESG juga dapat membantu memastikan bahwa hilirisasi dan industrialisasi berjalan seiring dengan inklusi sosial dan perlindungan lingkungan.

Selanjutnya, ESG juga seharusnya dipandang sebagai bagian dari sistem pertahanan negara terhadap risiko lingkungan dan sosial. Prabowo telah meminta investor Amerika untuk menerapkan prinsip ESG, menegaskan pentingnya investasi yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi.

Meski hal ini diapresiasi sebagai langkah awal yang positif, dalam 100 hari pemerintahan belum ditemukan adanya langkah konkret untuk merealisasikan perubahan tersebut. Fokus pemerintah dianggap lebih condong pada target pertumbuhan ekonomi 8% tanpa komitmen kuat terhadap ESG menunjukkan kurangnya sense of urgency dalam implementasi safeguard investasi berkelanjutan.

Keenam, mengkaji ulang kebijakan NEK agar memiliki safeguard yang kuat, mendukung pencapaian target NZE, serta mendorong transparansi & akuntabilitas dalam penerapan NEK. Evaluasi terhadap rekomendasi ini disebut tidak ada pencapaian NZE dan NEK.

Pemerintah disebut masih memberikan Sertifikat Pengurangan Emisi - Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) bagi proyek bahan bakar fosil seperti PLTGU. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan mendukung komitmen ini dengan menekankan aspek keadilan dan tata kelola yang baik.

"Presiden Prabowo juga dihimbau untuk meninjau ulang kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dengan safeguard yang kuat untuk transparansi dan akuntabilitas," terangnya.

Dalam 100 hari pemerintahannya, Prabowo disebut berusaha menunjukkan keterbukaan dalam melibatkan masyarakat dan dunia usaha dalam pasar karbon. Pemerintah berencana berpartisipasi dalam perdagangan karbon internasional pada 2025 dan mengembangkan pasar karbon dengan potensi pendanaan hijau hingga Rp 1.000 triliun.

Namun demikian, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan belum ditemukan bukti pelibatan masyarakat yang terdampak langsung oleh proyek-proyek ini. Hampir semua listing SPE-GRK dalam Sistem Registrasi Nasional Kementerian Lingkungan Hidup (SRN-MENLH) diusung oleh perusahaan-perusahaan besar tanpa pelibatan masyarakat setempat.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil menilai masih banyak tantangan yang perlu diatasi, seperti memastikan proyek karbon benar menurunkan emisi gas rumah kaca. Banyaknya proyek energi fosil yang terverifikasi di SRN-MENLH juga menimbulkan keraguan terhadap komitmen transisi energi berkeadilan.

Selanjutnya, kebijakan yang lebih jelas mengenai cap and trade emisi maupun pajak karbon juga dibutuhkan agar mekanisme NEK di Indonesia dianggap serius oleh dunia internasional. Kebijakan pemerintah juga dianggap inkonsisten dalam karena adanya perbedaan pernyataan antara Prabowo Bahlil yang berimplikasi terhadap ketidakpastian bagi investor.

"Bila pemerintah serius mengenai niatnya menggaet investor luar negeri maupun mendorong penerimaan dari NEK, maka pemerintah perlu menunjukkan keseriusannya dalam mengejar target NZE Indonesia maupun mendorong transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi dalam aplikasi NEK di Indonesia," ungkapnya.

Ketujuh, meninjau ulang program biofuel, seperti biodiesel B50 dan campuran lebih tinggi serta bioetanol E10 agar tetap mempertimbangkan aspek keadilan sosial, daya dukung lingkungan, serta daya saing industri dalam negeri. Evaluasi terhadap rekomendasi ini dianggap mundur karena belum ada tinjauan serius biofuel.

Dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, program biofuel seperti biodiesel B50 dan bioetanol E10 menunjukkan kemunduran karena kurangnya pertimbangan terhadap keadilan sosial, daya dukung lingkungan, maupun daya saing industri nasional.

Program ini, yang seharusnya menjadi solusi holistik, justru menghadirkan risiko dampak negatif jangka panjang. Alih-alih melakukan evaluasi berbasis data dan bukti ilmiah, pemerintah dianggap mendorong ekspansi lahan untuk pangan dan energi tanpa kajian yang memadai.

Kebijakan ini dinilai berisiko meningkatkan deforestasi dan bertentangan dengan komitmen global Indonesia dalam pengurangan emisi karbon serta perlindungan keanekaragaman hayati. Saat ini, luas tutupan sawit Indonesia diperkirakan hanya sekitar 17-18 juta hektar oleh pemerintah, padahal data Sawit Watch 2023 menunjukkan angka yang lebih besar - sekitar 22,3 juta hektar.

Studi terbaru mengenai ambang batas sawit (CAP Sawit) menegaskan bahwa kapasitas optimal lingkungan untuk sawit adalah 18,15 juta hektar, dan ekspansi di atas ambang ini akan menyebabkan kerusakan ekosistem yang tidak dapat dipulihkan.

"Fakta ini menunjukkan bahwa perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai atau bahkan melampaui batas keberlanjutan - sehingga ekspansi lebih lanjut bukanlah solusi yang bertanggung jawab," jelasnya.

Kedelapan, mengevaluasi program cofiring untuk mendukung percepatan transisi energi yang berkeadilan. Pada poin ini, evaluasi terhadap rekomendasi menunjukkan bahwa tidak ada perubahan dan belum ada evaluasi maupun perbaikan yang bisa menjadikan co-firing sebagai solusi yang dapat diterima untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan.

Adapun program co-firing mengintegrasikan biomassa sebagai campuran bahan bakar di PLTU batubara. Awalnya, program ini diusung sebagai solusi untuk mendukung transisi energi di Indonesia.

Namun hingga kini, belum ada evaluasi serius terkait efektivitas maupun dampak lingkungan dan sosialnya. Absennya langkah strategis dari pemerintah mencerminkan lemahnya komitmen terhadap keberlanjutan dan keadilan energi.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menilai, diperlukan banyak safeguards yang ketat dan roadmap yang transparan agar implementasi co-firing benar-benar berkontribusi pada target pengurangan emisi karbon.

Tanpa kebijakan berbasis bukti dan keadilan sosial, co-firing hanya berisiko menjadi dalih untuk memperpanjang umur PLTU batubara yang justru menghambat transisi energi. Pemerintah dianggap perlu mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan tersebut jika ingin mengusung co-firing sebagai solusi yang berkelanjutan dan relevan dengan tantangan transisi energi Indonesia saat ini.

"Masih perlu banyak perbaikan hasil evaluasi dan berbagai temuan di atas menunjukkan bahwa masih banyak yang perlu dibenahi oleh pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan inklusif melalui percepatan transisi energi yang sejalan dengan visi misi Asta Cita," tutup Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan. (rrd/rrd)