Aturan itu merupakan pengganti dari Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Terdapat beberapa poin yang direvisi oleh pemerintah dari aturan tersebut, sehingga terbit Perpres yang baru.
Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerjasama Multilateral Mari Elka Pangestu menyampaikan bahwa kebijakan ini menandai langkah besar Indonesia menuju masa depan hijau, Menurutnya, bukan sekedar kebijakan iklim, melainkan agenda pembangunan nasional yang mengubah kekayaan alam menjadi sumber kemakmuran yang inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.
"Dengan memperkuat transparansi, integritas, dan kepastian hukum, Indonesia menegaskan komitmennya untuk menjadi mitra terpercaya dalam kerja sama multilateral dan perdagangan internasional yang berorientasi pada ekonomi hijau," ungkap Mari Elka, dalam keterangannya, dikutip Kamis (16/10/2025).
Ia mengungkap dalam Perpres Nomor 110 Tahun 2025 pemerintah kini mengakui unit karbon non-SPE GRK (Sertifikat Pengurang Emisi-Gas Rumah Kaca) yang mengikuti standar internasional seperti Verra dan Gold Standard.
Pengakuan tersebut memungkinkan unit atau kredit karbon tersebut diperdagangkan baik di pasar domestik maupun pasar internasional sehingga berdampak positif terhadap ekosistem pasar karbon di Indonesia yang relatif mandek sejak 2023.
Untuk diketahui, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, hingga September 2025 mencatat total volume transaksi hanya 1.606.056 ton CO₂e dengan akumulasi nilai Rp 78,46 miliar.
Mari Elka menyebutkan, pengakuan atas unit karbon non-SPE GRK Internasional sedikitnya akan memberikan tiga dampak terhadap pasar karbon Indonesia.
1. Daya tarik investasi akan meningkat. Perpres 110/2025 memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengurangi ketidakpastian bagi investor. Kepastian hukum akan menarik investasi ke proyek-proyek yang berbasis alam (Nature-Based Solutions/NBS) di Indonesia.
2. Integrasi ke pasar global. Pengakuan pemerintah terhadap unit karbon non-SPE GRK menyelaraskan kerangka kerja nasional dengan standar global. Selain itu, Perpres 110/2025 juga memfasilitasi perdagangan karbon antarnegara, sesuai dengan Artikel 6 Persetujuan Paris.
Indonesia memiliki peluang untuk mengekspor kredit karbon, terutama berbasis alam ke negara atau perusahaan yang memiliki komitmen terhadap keberlanjutan.
3. Manfaat bagi masyarakat atau komunitas lokal. Standar internasional acapkali mewajibkan kriteria atau parameter manfaat sosial dan lingkungan bagi komunitas lokal. Dengan semakin banyaknya proyek yang mengikuti standar tersebut, potensi manfaat seperti perlindungan hak-hak masyarakat adat, pembagian keuntungan yang adil berpotensi meningkat.
Mari Elka menerangkan, sistem baru penghitungan dan pelaporan emisi yang kredibel dan transparan (Measurement, Reporting, and Verification/MRV), membuat setiap kredit karbon yang diterbitkan akan merepresentasikan pengurangan emisi yang nyata, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Sehingga, dengan sistem yang terbuka dan efisien pelaku lokal bisa berkontribusi sejajar dengan investor besar dalam menjaga alam dan mengurangi emisi," tutupnya. (acd/acd)











































