Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan, hampir semua perusahaan-perusahaan batu bara kecil telah berhenti berproduksi.
"Tahun lalu saja sudah 70% dari 5.000 pemegang IUP tutup. Sekarang sudah naik lagi lebih besar lagi yang sudah minus bisa sampai 80% lebih karena yang kecil-kecil sudah setop, karena belum ada tanda perbaikan harga setelah semester kedua ini," kata Hendra kepada detikFinance, Minggu (31/7/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, lanjut Hendra, perusahaan-perusahaan tambang batu bara menengah besar pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusaha Batu bara) masih bisa bertahan lantaran bisa melakukan efisiensi besar serta pasar yang terjamin untuk kebutuhan pembangkit.
"Yang besar masih tahan karena efisiensi. Mereka ini kan pemain lama dengan modal besar, tentu punya perencanaan saat harga jatuh, kalau yang kecil-kecil masuk ramai-ramai saat booming komoditas. Kalau kondisi begini langsung pada kolaps," jelas Hendra.
Berdasarkan harga batu bara acuan (HBA) yang dirilis Kementerian ESDM per 16 Juni 2016, harga batu bara kualitas baik atau kalori di 7.000 seperti jenis Gunung Bayan I masih dipatok di harga US$ 55,32/ton. Jauh di bawah harga saat booming batu bara di 2013 yang pernah mencapai US$ 90/ton.
Jenis lainnya seperti Envirocoal dengan kalori 5.500 seharga US$ 41,28/ton, dan jenis Ecocoal dengan kalori 4.200 dijual seharga US$ 30,63/ton. (drk/drk)