Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo mengatakan, belum saatnya negara kita ini menghapuskan BBM bersubsidi. Penghapusan BBM subsidi bakal menimbulkan dampak sosial, politik, dan ekonomi yang berat.
"Subsidi BBM menimbulkan banyak ekses memang betul. Ekses tersebut seperti penyelundupan, pengoplosan, konsumsi BBM yang boros, pencurian oleh industri dan sebagainya. Tapi ekses-ekses tersebut masih jauh lebih ringan dampak sosial, politik, dan ekonominya dibandingkan jika negara menghapuskan, atau mengurangi drastis BBM bersubsidi," tutur Dradjad kepada detikFinance, Kamis (30/6/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jurang antara sektor keuangan dengan sektor riil semakin lebar, demikian juga antara si kaya dan si miskin, antara desa dan kota, antara Jawa dan luar Jawa. Jika keterbelahan ini semakin menganga, hanya masalah waktu saja untuk muncul letupan-letupan," kata Dradjad.
Contoh kecil, ungkap Dradjad, masalah lapangan kerja. Kebijakan ekonomi liberal yang kita terapkan sejak krisis 1998 telah sangat memukul industri dan sektor padat karya. Pelaku-pelaku ekonomi rakyat tidak sedikit yang bertumbangan.
"Lihat saja pada industri sepatu, garmen, kerajinan, home industry, pangan rakyat dan lain-lain. Padahal mereka katup penyediaan lapangan kerja. Kita tertolong dari gejolak yang ditimbulkan oleh pengangguran karena kita tega membiarkan wanita-wanita Indonesia jadi pembantu di luar negeri," tambahnya.
TKW adalah katup pengaman, negara lain membantu menyerap tenaga kerja kita. Jika BBM bersubsidi dihapuskan, lanjut Dradjad, makin banyak industri dan sektor padat karya yang tumbang, makin banyak kita harus mengirim wanita-wanita kita ke luar negeri. "Ini jelas bukan rezim ekonomi politik yang sehat," imbuh Dradjad.
Jadi menurutnya, Kementerian ESDM harus cari terobosan yang benar untuk mengatasi masalah BBM bersubsidi. Perlu kerjasama dengan daerah. Contohnya, konsumsi BBM boros karena transportasi publik amburadul.
"Perbanyak bus kota yang bagus di DKI dengan jaringan yang luas, lalu lakukan pembatasan kendaraan, maka itu bisa mengurangi pemborosan," cetusnya.
Lalu kerjasamalah dengan Kementerian Keuangan untuk mengembangkan pajak kendaraan bermotor bagi kelompok kaya yang bisa mengompensasi besaran subsidi BBM. Banyak pola pajak dan cukai yang bisa didesain, yang jauh lebih mudah dilaksanakan daripada pembatasan bensin premium.
"Tugas Menkeu dan Menteri ESDM-lah untuk mencari terobosan yang smart tersebut. Bukan malah sowan ke MUI sehingga timbul kontroversi yang tidak perlu," tukas Dradjad.
(dnl/qom)











































