Pemerintah hingga saat ini belum punya pengendalian BBM bersubsidi alias premium. Banyak opsi yang tengah digodok namun belum satu pun ditetapkan.
Opsi-opsi tersebut antara lain rencana menaikkan harga premium atau segera memberlakukan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Hal ini harus segera dilakukan karena konsumsi premium semakin membengkak mengakibatkan anggaran negara tergerus.
Anggota Komisi VII DPR RI, dari Fraksi Golkar, Satya W Yudha mengatakan, pemerintah masih dalam posisi 'business as usual' untuk urusi BBM bersubsidi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satya meneruskan, seharusnya pemerintah segera melakukan opsi-opsi yang ada. Pemerintah sudah bisa menaikkan harga premium, karena rata-rata harga minyak Indonesia sudah menyentuh US$ 95,98 per barel.
''Mereka sudah bisa naikkan Premium sebetulnya. Sekarang mereka belum melakukan apa-apa. Harusnya segera mengatur BBM Subsidi. Akibatnya sekarang volumenya membengkak, dan mereka meminta usulan 40,4 juta KL,'' tambahnya.
Menurutnya, dengan diusulkan volume BBM Subsidi menjadi 40,4 juta KL, imbasnya anggaran subsidi bakal semakin membengkak.
''Untuk BBM subsidi saja, belum dengan subsidi listrik, anggaran subsidi sudah Rp 96 triliun. Dengan tambahnya kuota bisa menjadi Rp 120,8 triliun. Apalagi jika ditambah dengan subsidi listrik,'' tukas Satya.
Pemerintah sendiri sudah sadar, bahwa BBM subsidi kerap tidak tepat sasaran. Maka itu harus segera diatur, karena semakin besar subsidi untuk energi, maka dapat mengganggu keuangan negara untuk bidang lain.
''Dana untuk infrastruktur bisa terganggu. Inilah yang sebetulnya pemerintah harus smart siasati keuangan negara apabila mereka ingin ketatkan defisit di -1,8%,'' lanjut Satya.
(nrs/ang)











































