Helmi Arman, ekonom Citi Research, menilai tidak ada dampak yang terlalu mengkhawatirkan. Memang ada perlambatan ekspor, tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap defisit pada transaksi berjalan. Per kuartal III 2013, defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 8,4 miliar atau 3,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Dampak terhadap defisit transaksi berjalan kami perkirakan lebih rendah dari 0,3 persen PDB, mungkin sekitar 0,1 atau 0,2 persen PDB dalam skenario terburuk. Kami tetap memperkirakan defisit transaksi berjalan pada 2014 sebesar 2,8 persen PDB,” papar Helmi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2013, tambah Helmi, ekspor mineral ore Indonesia mencapai US$ 500 juta per bulan. Namun dalam jangka menengah-panjang, nilai ini bisa ditutupi oleh ekspor dari produk mineral yang sudah diolah, seiring mulai beroperasinya sejumlah smelter.
“Dampak positif lainnya adalah meski ekspor pasir besi mentah dilarang tetapi impor besi jadi bisa dikurangi karena sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Ini merupakan berita bagus untuk neraca perdagangan dan transaksi berjalan,” jelas Helmi.
Lalu bagaimana dampaknya terhadap nilai tukar rupiah? Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, mengatakan ada anggapan yang salah bahwa pelarangan ekspor mineral ore dapat melemahkan rupiah karena ekspor yang menurun.
“Ternyata rupiahnya menguat dengan cukup signifikan. Ini disambut oleh pasar sangat positif," ujar Bayu.
Pada awal pekan ini, nilai tukar rupiah berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) tercatat sebesar Rp 12.047 per dolar AS. Menguat dibandingkan akhir pekan lalu yaitu Rp12.197 per dolar AS.
(hds/DES)