Penolakan tersebut diwujudkan, antara lain dengan memasang bendera kuning bertuliskan 'Tolak PLTU!' di persawahan yang akan menjadi lokasi proyek. Pengamatan detikFinance di lapangan, bendera kuning masih banyak berkibar terutama di lahan-lahan milik warga Ponowareng, Kecamatan Tulis.
Darsani, Kepala Desa Ponowareng mengklaim, 80% dari sekitar 2.700 warganya menolak pembangunan PLTU di wilayah tersebut. Salah satu alasannya adalah mata pencaharian, mengingat warga desa yang sebagian besar adalah petani sangat menggantungkan penghasilan dari mengolah lahan.
"Kalau mau diberi pelatihan, mau dilatih apa? Warga sini umurnya sudah tua-tua. Itu yang sampai sekarang belum terpecahkan," kata Darsani, ditemui di rumahnya baru-baru ini.
Dari 289,53 hektar wilayah Desa Ponowareng, luas lahan yang akan dipakai untuk proyek PLTU mencapai 23 hektar. Seluruhnya adalah lahan pertanian, yang antara lain ditanami padi, juga bunga melati untuk campuran teh. Menurut Darsani, area tersebut rencananya akan dijadikan sabuk penghijauan.
Alasan lain yang disampaikan oleh Darsani adalah kekhawatiran warga terhadap ancaman polusi. Warga pernah melakukan studi banding ke beberapa lokasi PLTU, termasuk PLTU Cilacap Jawa Tengah dan PLTU Paiton di Jawa Timur, dan mendapatkan informasi tentang kerusakan lingkungan dan gangguan pernapasan.
"Kita kan orang kampung, mikirnya sederhana saja. Ibaratnya sedang makan, ada orang kentut saja kan rasanya jadi tidak enak. Apalagi ini polusi udara," lanjut Darsani.
Penolakan juga dijumpai di Desa Roban Barat, yang secara administratif masuk wilayah Desa Kedungsegog, Kecamatan Tulis, dan terletak di muara Sungai Kaliboyo. Meski lahannya tidak digunakan untuk proyek PLTU, sebagian warga Roban Barat yang berprofesi sebagai nelayan tidak setuju dengan pembangunan PLTU.
Menurut para nelayan, pembangungan PLTU akan berdampak pada kelestarian terumbu karang di kawasan Karang Kretek. Terumbu karang yang berada dalam kawasan konservasi laut daerah tersebut hanya berjarak sekitar 1 km dari lokasi proyek. Jika rusak, para nelayan khawatir tangkapannya akan berkurang.
Sama seperti warga desa Ponowareng, warga Desa Roban Barat yang menolak PLTU juga mengibarkan bendera kuning di kapal-kapal yang mereka pakai untuk melaut. Pengamatan detikFinance, hampir semua kapal yang bersandar di samping Tempat Pelelangan Ikan memasang bendera tersebut.
Meski terdapat banyak simbol penolakan, di kedua desa tersebut ada pula warga yang mendukung PLTU. Salah satunya tampak dari coretan di salah satu dinding rumah warga, yang bertuliskan 'PLTU YES!' Adanya pro dan kontra di kalangan warga diakui sendiri oleh salah seorang nelayan, Supri.
"Sudah 2 tahun kami begini, sekampung tapi tidak harmonis. Belum lama ini ada warga yang meninggal, warga yang beda pandangan tentang pembangunan PLTU tidak mau datang melayat ataupun membantu pemakaman. Sampai seperti itu Mas kondisinya," kata Supri.
Didukung Aktivis Lingkungan
Sikap sebagian warga Batang yang menolak PLTU mendapat dukungan dari para aktivis lingkungan, salah satunya Greenpeace Indonesia. Juru kampanye Iklim dan Energi, Arif Fiyanto mengklaim batu bara yang dipakai untuk PLTU adalah sumber energi kotor yang tidak ramah lingkungan.
"Dengan kapasitas 2.000 megawatt, PLTU Batang akan melepaskan 10,8 juta ton karbon ke atmosfer, setara dengan emisi karbon Myanmar pada tahun 2009," kata Arif dalam perbincangan baru-baru ini.
Arif mengatakan, megaproyek yang disebut-sebut sebagai PLTU paling besar se-Asia Tenggara itu juga melepas 226 kg/tahun logam merkuri ke perairan Ujungnegoro yang merupakan kawasan konservasi laut. Tiap 0,907 gram merkuri yang mencemari perairan bisa membuat ikan di aera seluas 100 m2 tidak layak untuk dikonsumsi karena mengandung residu logam berat.
Terkait ancaman terhadap penghasilan para nelayan, Selamet Daroyni dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) memperkirakan, kerugian para nelayan jika terjadi kerusakan terumbu karang akibat pembangunan PLTU Batang bisa mencapai Rp 1 miliar/hari.
"Satu kali melaut, tiap nelayan bisa mendapat penghasilan minimal Rp 400 ribu. Jika dalam sehari ada 2.500 saja nelayan yang melaut, maka aset nelayan bisa mencapai Rp 1 miliar/hari. Itu semua hilang kalau nanti PLTU Batang dibangun," kata Selamet.
Selamet mencatat, saat ini ada 10.931 nelayan yang mencari ikan di perairan Batang. Itu belum termasuk nelayan dari daerah lain, yang juga mencari ikan di perairan tersebut karena ekosistem sepanjang pesisir pantai utara Jawa rata-rata sudah rusak.
Belajar dari PLTU di Labuhan Banten, Selamet mengingatkan bahwa proyek semacam itu dapat menyebabkan pemanasan mikro yang merusak mangrove dan terumbu karang. Habitat ikan pun terancam, lalu berdampak pada penurunan hasil tangkapan para nelayan.
Sebelumnya, Direktur Operasi Jawa-Bali-Sumatera PLN Ngurah Adyana pernah mengatakan, proyek PLTU Batang 2 x 1.000 Megawatt (MW) harusnya sudah segera dibangun, karena bila tidak dibangun, maka akan berdampak pada pasokan listrik pada 2017-2018.
Bila tak kunjung rampung, proyek senilai US$ 4 miliar atau Rp 40 triliun ini bisa membuat pasokan listrik di Jawa krisis pada 2017-2018. Proyek ini digarap konsorsium JPower-Adaro-Itochu.
Karena PLTU Batang tersebut berkapasitas besar, tentu akan memiliki pengaruh besar, bila proyek ini tidak selesai sesuai target. Apalagi target financial close PLTU Batang ini sudah lewat yakni pada 6 Oktober 2013 kemarin, dan sudah seharusnya dibangun karena ditargetkan selesai pada 2014.
Berkaca pada kondisi di Sumatera yang saat ini mengalami krisis pasokan listrik dan membuat hampir tiap hari terjadi mati lampu berjam-jam salah satunya karena terlambatnya beberapa proyek PLTU di Sumatera yang harusnya sudah selesai.
Akibatnya pasokan listrik di Sumatera tidak cukup sementara pertumbuhannya makin tinggi yakni mencapai 14% per tahun sedangkan perkiraan PLN hanya sebesar 9%.
(up/dnl)











































